Memikirkan Apa yang Dipikirkan Allah

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Bagaimanakah perasaan Saudara saat mendengar kalimat ini? Keras bukan? Mungkin ada di antara kita yang merasa tak enak hati sendiri, merinding, karena tahu bahwa kalimat ini tidak ditujukan kepada Iblis, tetapi kepada Simon Petrus, salah seorang murid kesayangan.

Belum lagi, beberapa saat sebelumnya dia lantang berkata kepada Yesus, ”Engkaulah Mesias.” (Mrk. 8:29). Menurut Injil Matius, Yesus memuji pernyataan Petrus itu. Memang bukan sembarang pernyataan, melainkan pernyataan iman. Petrus mengakui bahwa Yesus, Sang Guru, adalah Juru Selamat dan Tuhan.

Siapakah Aku?

”Engkaulah Mesias!” (Mrk. 8:29). Demikianlah pengakuan para murid Yesus, yang diwakili Petrus. Pengakuan itu berbeda dibandingkan pengakuan orang banyak perihal Yesus. Jika orang banyak itu mengaitkan sosok Guru dari Nazaret itu dengan para nabi, para murid—sekali lagi diwakili Petrus—menyatakan dengan tegas bahwa Yesus adalah Mesias.

Perhatikan, jawaban para murid ketika Yesus bertanya: ”Kata orang, siapakah Aku ini?”! Para murid dengan cepat menjawab: ”Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, yang lain mengatakan: Elia, yang lain mengatakan: Seorang dari para nabi.” Dalam pandangan banyak orang, Yesus tak beda dengan para nabi yang pernah hidup.

Yesus—yang sepertinya tak puas dengan jawaban tersebut—kemudian bertanya, ”Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Pada titik itu Petrus menjawab: ”Engkaulah Mesias!” Jawaban itu sungguh berbeda dengan anggapan orang banyak.

Bukan hal aneh sebetulnya karena mereka telah bergaul akrab dengan Sang Guru. Kalau orang banyak itu menyaksikan sosok Yesus dari kejauhan, maka para murid berkesempatan melihat Yesus dari dekat. Pergaulan yang begitu akrab membuat kesimpulan mereka tentang sosok Yesus menjadi sangat berbeda. Jika kebanyakan orang memandang Yesus sebagai manusia jempolan, para murid memandang Yesus lebih dari itu. Guru dari Nazaret itu adalah Mesias.

Namun, kedekatan itu tak otomatis membuat para murid mengerti Sang Guru sepenuhnya. Pemahaman mereka mengenai kemesiasan Yesus ternyata tak sama dengan pemahaman Sang Guru. Petrus, sekali lagi wakil para murid itu, tak begitu memahami penderitaan yang harus ditanggung Sang Guru. Di matanya, Mesias mustahil menderita. Tak heran, Yesus melarang para murid-Nya menceritakan soal kemesiasan-Nya itu kepada siapa pun.

Perbedaan Paradigma

Tampaknya, ada perbedaan paradigma antara Yesus dan Petrus mengenai hakikat Mesias. Di mata Yesus, Mesias harus menderita untuk menjalani misinya. Pendapat Petrus berbeda. Karena itulah, Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia: ”Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Engkau.” (Mat. 16:22).

Mengapa Petrus berbuat begini? Saya rasa Petrus amat mengasihi Yesus. Teguran Petrus bukanlah tanda bahwa dia ingin menang sendiri. Teguran Petrus juga bukan dimaksudkan untuk sombong-sombongan. Bukan. Bukan itu saya kira. Semua itu dilakukan Petrus karena ia mengasihi Sang Guru.

Petrus tidak sendirian dalam hal ini. Penulis Injil Markus mencatat bahwa Yesus berkata keras kepada Petrus sambil memandang murid lainnya. Itu menyiratkan, bahwa para murid agaknya sependapat dengan Petrus. Mereka berpendapat: apa yang dikatakan Yesus memang keliru. Mereka agaknya merasa bahwa tindakan Petrus itu pasti benar.

Bisa jadi para murid tak begitu mengerti dengan jalan yang akan ditempuh Sang Guru. Dalam hatinya, mungkin mereka bertanya-tanya: ”Bagaimana mungkin Yesus mati dibunuh? Mungkinkah orang membunuh Yesus? Mungkinkah orang menangkap Yesus, setan-setan saja takut kepada-Nya? Bukankah itu merupakan suatu kemustahilan?”

Menanggung Banyak Penderitaan

Berbicara soal penderitaan, juga kematian Yesus, memang suatu kemustahilan. Karena itu pula, baiklah diingat bahwa Yesus tidak pernah ditangkap. Yang benar ialah Sang Gurulah yang menyerahkan diri-Nya. Jadi, penderitaan dan kematian itu hanya mungkin terjadi kala Yesus sendiri menyerahkan diri-Nya untuk ditangkap dan disalib. Tetapi, kematian bukanlah akhir. Kebangkitan Yesus membuktikan bahwa Yesus adalah Allah.

Reaksi tegas Yesus memperlihatkan dengan jelas betapa besarnya perbedaan pandang antara Guru dan murid. Di satu sisi, para murid mengaku bahwa Yesus adalah Juru Selamat dan Tuhan. Itu berarti penderitaan yang akan dialami Yesus merupakan kemustahilan. Namun, di sisi lain, Yesus menegaskan bahwa Mesias harus menderita. Penderitaan itu bukanlah sesuatu yang dipaksakan kepada Yesus, tetapi merupakan kehendak-Nya sendiri.

Itulah misi kehadiran Yesus di dunia. Karya penyelamatan Allah memang tidak mengambil jalan kemegahan, melainkan penderitaan. Namun, penderitaan yang dimaksud bukanlah penderitaan karena paksaan orang lain, tetapi karena kerelaan hati.

Penulis Injil Markus mencatat: ”Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan.” (Mrk. 8:31). Penderitaan itu sendiri merupakan keniscayaan demi penyelamatan! Kata yang dipakai, ’menanggung’, merupakan verba aktif! Yesus datang ke dunia memang untuk mati!

Salib menyiratkan keadilan dan kasih Allah. Salib menyatakan keadilan Allah—upah dosa adalah maut. Setiap manusia berdosa sehingga harus mati. Tetapi, Allah tidak menginginkan kebinasaan manusia. Sehingga, harus ada pribadi nirdosa yang menggantikannya. Yesus, manusia nirdosa, menggantikan tempat manusia dan menerima upah dosa. Itulah kasih Allah sekaligus keadilan Allah. Salib menyatakan keadilan dan kasih Allah. Itulah yang harus ditempuh Yesus: Allah yang menjadi manusia.

Tak hanya Yesus yang harus menempuh jalan itu. Dia menegaskan: ”Jika seseorang mau menjadi pengikut-Ku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” (Mrk. 8:34). Setiap murid diminta menempuh Via Dolorosa ’jalan sengsara’—menderita agar makin banyak orang merasakan kasih Allah.

Jalan Pengharapan

Dalam halaman pertama bukunya, Jalan Pengharapan, Francis Xavier Kardinal Nguyễn Vǎn Thuận menyatakan: ”Rencana dasar dari Jalan pengharapan mempunyai tiga tahapan: (1) keberangkatan: ’penyangkalan diri’, (2) kewajiban: ’memikul salib setiap hari’, dan (3) ketekunan: ’ikutlah Aku’. Jika engkau meninggalkan segala sesuatu tetapi masih belum menyangkal dirimu, sesungguhnya engkau belum meninggalkan sesuatu apa pun karena engkau akan perlahan-lahan mengumpulkan kembali bagi dirimu segala sesuatu yang telah engkau tinggalkan. Engkau harus kehilangan supaya memperoleh, meninggalkan semua yang lain supaya bertemu dengan Tuhan. Majulah terus dengan tegar; jangan menyerah. Tidak ada seorang pun yang akan mengikuti orang yang berbalik ke belakang.”

Menyangkal diri berarti rela tidak menggunakan hak. Menyangkal diri bukanlah melupakan hak, tetapi secara sadar tidak menggunakan hak tersebut.

Memikul salib berarti siap menanggung sengsara meski bukan bagiannya. Kesengsaraan di sini bukanlah akibat kesalahan sendiri. Memikul salib berarti siap menanggung sengsara karena memahaminya sebagai kehendak Allah.

Mengikut Yesus berarti berjalan di belakang-Nya. Kristuslah yang di depan. Kehendak-Nyalah yang utama. Bukan sebaliknya. Itulah yang ditekankan Yesus kepada para murid-Nya. Ketika Yesus bicara soal salib, Petrus langsung menegurnya. Dengan tegas Yesus berkata bahwa Petrus hanya bicara menurut kehendak-Nya sendiri.

Nah, di sini persoalan dimulai! Jika Petrus mengakui bahwa Yesus adalah Juru Selamat dan Tuhan, maka dia seharusnya tidak berorientasi pada pikirannya sendiri, tetapi apa yang dipikirkan Allah. Yesus menyebutnya Iblis karena melawan Allah serta rencana keselamatan-Nya. Semua yang melawan Allah memang tak beda dengan Iblis! Dan untuk itu, hanya satu kata yang pantas: ”Enyahlah!”

Ketika Petrus terus berpegang pada pandangannya sendiri tentang kemesiasan-Nya, Yesus menghardik Petrus. Petrus ingin agar Yesus menyesuaikan diri dengan gambaran yang ada dalam pikirannya mengenai Mesias. Tetapi, Yesus mengingatkan bahwa manusialah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan keinginan Allah, dan bukan sebaliknya. Inilah hidup beriman.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa