Mendengarkan Dia

Kisah ”Pengusiran Roh Jahat di Kapernaum” (Mrk. 1:21-28) tidaklah terjadi dalam vakum. Kisah pengusiran dimulai dengan kesediaan para pengunjung rumah ibadah di Kapernaum untuk mendengarkan pengajaran Yesus. Itu berarti, mereka memberi kesempatan kepada Yesus untuk mengajar.
Tentunya, mendengarkan saja tidaklah cukup. Namun, pendengaran yang baik akan menolong seseorang mendapatkan apa yang terpenting dalam hidup. Jika tidak, biasanya dia akan mendengarkan apa yang ingin didengarnya. Dan itu bukanlah sikap seorang murid. Seorang murid harus siap belajar. Seorang murid harus siap menerima segala. Keterbukaan merupakan prinsip utama seorang murid.
Hasilnya? ”Apa ini? Suatu ajaran baru disertai kuasa! Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka taat kepada-Nya!” (Mrk. 1:27). Demikianlah respons umat dalam rumah ibadah di Kapernaum. Mereka terperanjat kala melihat Yesus mengusir roh jahat.
Itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya, mereka takjub kala mendengarkan ajaran Yesus. Cara Yesus mengajar terasa berbeda. Dia tidak bertindak sebagai sumber kedua atau sumber ketiga, melainkan sumber pertama. Yesus adalah narasumber sejati.
Ahli Taurat mengajarkan sesuatu yang dipelajari dan dipahami. Yesus berbeda. Dia tak perlu mempelajari bahan ajar karena Dialah ajaran itu sendiri. Yesus tidak mengajarkan firman Allah. Diri-Nyalah Firman Allah.
Pribadi Berwibawa
Berbeda dengan ahli Taurat yang mengulang, menafsir, dan memberikan pendapat orang lain, Yesus berbicara atas nama-Nya sendiri. Dia sungguh Pribadi berwibawa.
Dalam dunia pendidikan, manusia normal pastilah senang diajar guru yang memiliki wibawa akademis. Di sini akreditasi menjadi sangat beralasan. Kita mungkin tak enak hati sendiri menyaksikan guru yang mencari-cari dan menegakkan wibawa di hadapan naradidik.
Sejatinya, wibawa intrinsik pada diri manusia. Guru memang perlu menguasai bahan ajar. Namun, wibawa tak melulu soal nalar. Wibawa tak cuma soal otak, tetapi juga sikap dan tingkah laku. Wibawa tak hanya kena-mengena dengan cara pikir, tetapi juga cara sikap dan tindak seseorang.
Bagi pengkhotbah, wibawa itu berasal dari apa yang dikhotbahkan. Yang penting bukan sejauh mana ia menguasai firman Allah, tetapi sejauh mana dia dikuasai firman Allah. Bukan seberapa fasih dia bicara, namun apakah firman Allah itu menguasainya. Itulah dasar hidup pemberita firman Allah.
Yesus menjadi sangat berwibawa di hadapan para pendengarnya karena hidup-Nya merupakan perwujudan kata-kata-Nya. Kalimat-kalimat Yesus merupakan rumus verbal dari perbuatan-Nya. Ada keselarasan antara omongan dan tindakan; antara kata dan karya. Itulah yang dinamakan integritas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ”integritas” diartikan sebagai ”mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan”. Kewibawaan luntur tatkala kata-kata seseorang berbeda, lebih gawat lagi bertolak belakang, dengan sikap dan tindakannya.
Tak hanya berkait dengan profesi guru atau pendeta. Dalam segala lini kehidupan setiap orang dituntut memiliki integritas. Sebab, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Karena itu, kita perlu menyatukan pembicaraan dan perbuatan.
Itulah yang dilakukan Yesus. Sang Guru mempraktikkan ajaran-Nya. Dia tidak hanya bicara soal Kerajaan Allah, namun langsung mengamalkan nilai-nilai Kerajaan Allah itu. Itu tampak dalam peristiwa pengusiran roh jahat.
Mendengarkan Dia
Kerasukan roh jahat bisa diartikan bahwa roh jahat itu menguasai manusia hingga tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Manusia yang dirasuki roh jahat bukanlah manusia merdeka, yang bertindak tanpa sadar.
Menarik diperhatikan di sini bahwa roh jahat itu memiliki pengetahuan tentang Yesus Orang Nazaret, tetapi ia sendiri tidak membebaskan manusia. Roh jahat itu malah membelenggu manusia.
Yesus tak suka dengan situasi macam begini. Atas semua komentar roh jahat itu, Guru dari Nazaret hanya punya satu keputusan: ”Diam! Keluarlah dari Dia!”(Mrk. 1:25). Roh jahat itu pun pergi. Dia mendengarkan perkataan Yesus dan menaati-Nya.
Yesus hadir untuk membebaskan manusia dari belenggu yang mengikatnya. Dalam Yesus, manusia menjadi manusia merdeka di hadapan Allah. Manusia menjadi dirinya sendiri. Bukti kasih adalah membiarkan orang menjadi dirinya sendiri. Semuanya itu hanya akan terjadi kala manusia tunduk kepada Yesus. Ketundukan itu dimulai dengan mendengarkan-Nya.
Itu jugalah yang dilakukan para pengunjung rumah ibadah di Kapernaum. Mereka memberi kesempatan kepada Yesus untuk mengajar. Tentunya, mendengarkan saja tidaklah cukup. Namun, pendengaran yang baik akan menolong seseorang mendapatkan apa yang terpenting dalam hidup.
Pemazmur bermadah: ”Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN.” (Mzm. 111:10). Kebijaksanaan utama dalam diri manusia ialah menghormati Allah. Penghormatan itu tampak kala kita bersedia mendengarkan suara Tuhan dan menaati-Nya.
Semasa hidup, Musa menubuatkan seorang nabi, yang akan mengatakan apa yang seharusnya dilakukan umat Allah. Dengan tegas Musa berkata, ”Dialah yang harus kamu dengarkan.” (Ul. 18:15). Dan nubuat itu genap dalam diri Yesus: Sang Guru dari Nazaret. Masalahnya: maukah kita mendengarkan-Nya?
Kalau kita menyebut diri murid Yesus, mendengarkan Dia bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan. Aneh rasanya menyebut diri murid, namun enggan mendengarkan Sang Guru! Roh jahat saja mendengarkan, bahkan menaati, Yesus—yang bukan gurunya; masak kita kagak?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa