Menjadi Berkat bagi Orang Lain

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Mazmur 121 merupakan solilokui—dialog dengan diri sendiri. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya. Dialog dengan diri sendiri merupakan bukti bahwa manusia memiliki akal budi. Pada kenyataannya memang hanya manusia yang mampu bertanya dan menjawab pertanyaan.

Dalam ziarahnya ke Yerusalem, pemazmur berujar, ”Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung…” (Mzm. 121:1). Yerusalem dibangun di atas bukit, sehingga dari situ orang bisa bebas melayangkan pandangannya. Tak hanya melayangkan pandang, pemazmur merasa perlu bertanya: ”Dari manakah akan datang pertolonganku?”

Manusia Butuh Pertolongan

Apa yang bisa kita pelajari dari solilokui ini? Jelas, pemazmur merasa butuh pertolongan. Pertanyaan ini juga memperlihatkan kepada kita bahwa pemazmur sadar dia tidak mungkin hidup sendiri. Dia butuh pertolongan. Dan dia bertanya: Siapakah yang menjadi penolongnya?

Berbicara soal penolong, pemazmur jujur dalam hal ini. Sejak manusia lahir, dia butuh manusia lain. Tangisan pertama merupakan tanda bahwa dia butuh orang lain. Tangisan pertama merupakan bukti bahwa dia merasa tidak aman di dunia. Dan karena itulah, dia butuh pertolongan.

Manusia memang berbeda dengan anak ayam yang setelah keluar dari cangkang telur bisa langsung berjalan. Manusia butuh waktu setahun untuk berjalan. Dan dalam berjalan pun dia butuh pertolongan manusia lain untuk mengajarinya berjalan.

Dan pemazmur menyadari bahwa di atas semuanya itu Allahlah yang menjadi sumber pertolongannya. Dengan tegas pemazmur menjawab sendiri pertanyaannya dengan: ”Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” Pemazmur mengaku hanya Allahlah sumber pertolongan hidupnya. Ini merupakan sebuah pengakuan iman.

Meski demikian, jika dirunut lebih jauh, pengakuan iman ini lahir dari alur pikir sederhana. Manusia butuh manusia lain. Dan manusia lain itu tidak hadir dengan sendirinya. Tuhanlah yang menciptakannya. Sehingga, pada dasarnya hidup manusia ditopang oleh Tuhan sendiri.

Pemazmur memahami bahwa Allahlah sumber keselamatan dalam hidupnya. Namun, keselamatan Allah itu tak hanya monopoli pemazmur. Mengapa? Karena keselamatan Allah memang tidak hanya untuk satu orang saja di muka bumi ini.

Kisah Abraham

Perhatikanlah kisah Pemanggilan Abraham. Penulis Kitab Kejadian mencatat: ”Pergilah dari negerimu, dari sanak saudaramu, dan dari rumah bapamu ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, memberkati engkau, serta membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kej. 12:1-3).

Kisah pemanggilan Abraham bukanlah tanpa tujuan. Tujuan Allah ialah agar Abraham menjadi berkat. Menarik disimak, Abraham tak hanya menjadi saluran berkat, tetapi dia sendiri adalah berkat! Menjadi bahan renungan kita sekarang ini ialah apakah kita telah menjadi saluran berkat Allah bagi sekitar kita? Lebih jauh lagi, apakah kita telah menjadi berkat.

Nah, entah menjadi saluran berkat atau menjadi berkat, sejatinya penilaiannya bukanlah ditangan kita sendiri. Harus ada pribadi lain yang merasakannya. Di sini agaknya kita perlu bertanya dalam hati: apakah arti keberadaan kita bagi orang lain? Berkat atau kutuk?

Kisah Yesus

Dalam pertemuan Yesus dan Nikodemus, terlihat jelas bahwa Yesus adalah berkat bagi Nikodemus. Mengapa? Pertama, ketika Nikodemus datang pada waktu malam, Yesus tidak menolaknya. Kita tidak pernah tahu apa yang dilakukan Yesus sebelum kedatangan orang Farisi itu. Yang pasti Yesus menjadikan Nikodemus sebagai prioritas utama-Nya malam itu.

Tampaknya, Yesus sungguh-sungguh tahu kebutuhan sang tamu. Sehingga, ketika pemimpin agama Yahudi itu memuji-Nya, Yesus tidak terbuai oleh pujian itu, melainkan langsung ke pokok persoalan. Ia tidak ingin membuang-buang waktu. Agaknya, Sang Guru dari Nazaret memang hanya ingin mempercakapkan yang perlu-perlu saja. Tentunya, ini bukan karena waktu adalah uang. Bukan pula karena Dia tidak ingin berlama-lama dengan tamunya. Namun, Yesus agaknya ingin mempercakapkan yang terpenting dalam hidup—tanpa basa-basi.

Ya, tanpa basa-basi. Yesus langsung berkata, ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Jika seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” (Yoh. 3:3). Kalimat itu tentu saja membuat Nikodemus bingung dan cepat merespons: ”Bagaimana mungkin seseorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?” (Yoh. 3:4).

Lalu, mulailah Yesus berbicara banyak soal kelahiran kembali. Dilahirkan kembali berarti memercayai penyelamatan Allah dalam karya Anak Manusia. Dan apa yang dilakukan Anak Manusia itu seperti ular tembaga yang dibuat Musa. Orang yang melihat ular tembaga itu langsung sembuh.

Hanya melihat memang. Akan tetapi, sesungguhnya ini juga bukan hal mudah. Orang yang hanya mengandalkan rasio pastilah sukar mengarahkan pandangan ke ular tembaga itu. Memandang ular tembaga itu berarti percaya kepada Allah yang telah memerintahkan Musa membuat ular tembaga itu.

Yesus mengidentifikasikan dirinya dengan ular tembaga. Dan memandang ulat tembaga itu analog dengan memercayai kematian Yesus disalib sebagai tebusan sempurna, menggantikan manusia berdosa.

Guru dari Nazaret itu menyatakan bahwa semuanya itu berdasarkan kasih Allah semata. Semua memang karena cinta. Hanya dengan satu tujuan: orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan mendapat hidup sejati dan kekal. Hidup sejati berarti menjadi anggota umat Allah. Allah adalah sumber hidup. Menjadi anggota umat Allah berarti melekat kepada sumber hidup. Itulah yang dimaksudkan-Nya mendapat hidup sejati.

Kelihatannya memang gampang: tinggal percaya. Namun, persoalan besarnya adalah apakah orang cukup rendah hati untuk percaya? Apakah orang cukup rendah hati untuk mengakui bahwa dirinya berada dalam keadaan tidak selamat? Bagaimanapun, penyelamatan Allah itu hanya akan berfaedah ketika orang mengakui ketidakselamatannya. Penyelamatan Allah tidak akan berguna bagi pribadi-pribadi yang tidak merasa membutuhkannya.

Itulah arti Yesus bagi Nikodemus. Yesus menjadi berkat bagi Nikodemus. Dan sejarah mencatat bahwa iman Nikodemus pun bertumbuh. Bersama dengan Yusuf dari Arimatea, Nikodemus merawat jenazah Yesus orang Nazaret. Tentu, ada kaitan erat antara pertemuan malam itu dan kisah pemakaman Yesus.

Kisah Kita?

Sekali lagi, pertanyaannya adalah apakah kita menjadi berkat bagi orang lain? Mungkin tak mudah bagi kita menjawabnya, tetapi kita dipanggil pula untuk senantiasa meneladani Yesus orang Nazaret itu.

Berkait percakapan antara Yesus dan Nikodemus, kita dapat meneladani Sang Guru dari Nazaret dalam beberapa hal.

Pertama, jangan tolak orang yang datang kepada kita. Perhatikan bagaimana Yesus menerima Nikodemus. Yesus tidak mempermalukan Nikodemus dengan menolak bertemu dengannya. Yesus menerima Nikodemus dengan baik, meski mungkin mengganggu waktu istirahat-Nya.

Kedua, Namun demikian, Yesus bersikap terus terang dan blak-blakan. Apa yang dianggap benar itulah yang dinyatakan-Nya. Mengapa Nikodemus tidak tersinggung? Kemungkinan besar karena Nikodemus menyadari bahwa apa yang dikatakan Yesus adalah kebenaran. Biasanya kita dapat menilai apakah kemarahan seseorang itu disebabkan karena dia ingin mempermalukan kita atau karena sungguh dia menyayangi kita!

Kedua hal itu dilakukan Yesus karena Ia ingin memberikan yang terbaik bagi Nikodemus. Ia tahu kebutuhan terdalam dari Nikodemus—keselamatan. Karena itulah, Yesus berupaya memenuhinya. Sang Guru mendorong Nikodemus untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya dan bukan apa yang diinginkannya. Dan kebutuhan terbesar dalam diri manusia adalah keselamatan—pulihnya hubungan antara manusia dan Allah.

Dan itu hanya dapat kita lakukan jika kita hidup dalam anugerah keselamatan-Nya. Persoalannya: apakah kita percaya dan hidup dalam anugerah-Nya?

Selamat menjadi berkat bagi orang lain!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa