Menjadi Hamba-Nya

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus)” (Yoh. 1:42). Demikianlah sapaan Yesus Orang Nazaret kepada Simon. Yesus tidak hanya memanggil namanya: Simon. Dia merasa perlu menambahkannya dengan anak Yohanes dan Kefas, yang artinya Petrus. Dan Sapaan itu, jika kita perhatikan, berkait erat dengan masa kini, lampau, dan masa depan.

Simon adalah masa kini, anak Yohanes adalah masa lampau, dan Kefas yang artinya Petrus adalah masa depan. Menarik disimak, dalam satu kalimat sapaan itu berhubung dengan waktu: sekarang, lalu, dan esok. Dan sesungguhnya, setiap orang mempunyai tiga dimensi waktu ini.

Makna Sapaan Yesus

Kita—orang percaya abad XXI—tidak mengetahui perasaan Simon ketika mendengar sapaan itu. Kemungkinan besar dia kaget karena Sang Guru tahu namanya. Mungkin juga dia kagum karena Yesus Orang Nazaret juga mengenal bapaknya. Dan akhirnya dia juga bangga karena Yesus mengatakan bahwa dia nantinya akan dipanggil Petrus, sang batu karang.

Dikenal itu sungguh menyenangkan. Para ahli psikologi menyatakan bahwa kata yang paling enak didengar oleh manusia adalah namanya sendiri. Kita senang kala mendengar nama kita disebut. Artinya, ada orang yang mengenal dan mau menyapa kita. Disapa dengan nama sendiri berarti kita dianggap. Kita bukan barang kodian. Kita punya identitas.

Tak hanya menyapa dirinya, Yesus Orang Nazaret juga menyapa masa lalu Simon. Tak ada orang tanpa masa lalu. Betapapun tak menyenangkannya masa lalu, tanpa masa lalu tidak ada hari ini. Kita juga adalah pribadi masa lalu. Karena itu, kita mesti menerima masa lalu kita penuh dengan syukur.

Ketika Yesus memandang Simon—tentu dengan menggunakan mata fisik—Sang Guru dari Nazaret itu memandang jauh ke depan. Dia tidak hanya melihat Simon yang sekarang, namun melihat Simon yang ada pada masa depan. Yesus menggunakan ”akan”—sesuatu yang belum terjadi. Jelas di sini, Yesus—Allah yang menjadi manusia itu—mengajak Simon melihat masa depannya.

Dengan kata lain, dalam sapaan Yesus terdapat juga visi besar. Dan Simon diajak melihat visi itu bahwa dia akan menjadi pribadi setegar batu karang. Yesus mengajak Simon melihat potensi batu karang yang ada dalam dirinya. Tak hanya melihat potensi diri, Yesus mengajak Simon untuk menjadi batu karang. Sepertinya Yesus Orang Nazaret mengajak Simon juga untuk membentuk masa depannya.

Dan bagi setiap orang, Allah memiliki visi. Allah mempunyai rancangan berkait tempat dan peran untuk setiap orang. Semuanya berpulang pada manusia itu sendiri: mengikuti rancangan-Nya atau tidak.

Hamba Tuhan

Itu jugalah kesaksian hamba Tuhan dalam Kitab Yesaya.  Perhatikan nubuat Yesaya: ”Dengarkanlah aku, hai pulau-pulau, perhatikanlah, hai bangsa-bangsa yang jauh! TUHAN telah memanggil aku sejak dari kandungan telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku.” (Yes. 49:1).

Allah diperkenalkan Yesaya sebagai Pribadi Mahatahu. Dia mengenal manusia, lebih dari manusia itu sendiri. Dalam Alkitab BIMK dinyatakan: ”TUHAN memanggil aku sebelum aku dilahirkan, Ia memilih aku sejak dari kandungan.” Bahkan Yesaya menambahkan  Tuhan sebagai pribadi yang membentuk dirinya sejak dari kandungan untuk menjadi hamba-Nya! (Lih. Yes. 49:5). Allah adalah pribadi yang mengenal kita, mengetahui pikiran kita, bahkan sebelum kita bicara. Dia memercayakan manusia menjadi hamba-Nya. Dan kita, orang percaya abad ke-21 dipercaya sabagai hamba-Nya.

Hidup Kudus

Kalau sudah begini, apa yang harus kita lakukan? Tak ada jalan lain, kecuali hidup kudus. Dan itulah yang dinyatakan Paulus perihal warga jemaat di Korintus. Perhatikan: ”kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, (1Kor. 1:2).

Kudus di sini arti pertama dan terutama ialah khusus. Jemaat Korintus adalah orang-orang yang dikhususkan oleh Allah dan untuk Allah. Karena itu, hidup kudus dalam pengertian suci sejatinya merupakan keniscayaan. Jika tidak hidup suci malah aneh. Hidup kudus merupakan keniscayaan karena kita memang telah ”dibeli dan harganya telah lunas dibayar”

Dan alasan lain pula ialah karena ”Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu. Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus.” (1Kor. 1:5-7).

Bahkan, Daud bersaksi: ”Banyaklah yang telah Kaulakukan, ya TUHAN, Allahku, perbuatan-Mu yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau! Aku mau memberitakan dan mengatakannya, tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung” (Mzm. 40:5). Daud bicara soal masa lalu dan masa depan. Bicara soal masa lalu saja terlalu besar jumlahnya, apalagi bicara soal masa depan.

Sekali lagi, jika sudah begini, hidup kudus bukanlah hal yang luar biasa. Hidup kudus merupakan hal yang lumrah karena kita telah ditebus Tuhan dan menjadi milik Tuhan. Itulah respons logis dari setiap orang yang dipanggil Allah menjadi hamba-Nya.

Yoel M. Indrasmoro

Gambar: Istimewa