Menjadi Saudara bagi Orang Lain
”Sebab, di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Perkataan Tuhan Yesus sering menjadi sumber penghiburan. Ia tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Ia peduli. Enggak perlu bicara soal jumlah di sini. Yang Mahakuasa hadir bahkan dalam persekutuan kecil sekalipun. Bayangkan, cuma dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Tuhan, Tuhan hadir.
Namun, terkadang frasa ”berkumpul dalam nama-Ku” kurang mendapat perhatian. Sebenarnya, frasa itu bukan sembarang frasa. Kristuslah dasar persekutuan itu. Persekutuan tidak berdasarkan atas kesamaan ideologi, warna kulit, tingkat sosial, melainkan berdasarkan Kristus. Itulah makna gereja sebenarnya. Dengan kata lain, kehendak Kristuslah yang utama.
Dan salah satu tindakan nyata ”dalam nama-Ku” ialah keberanian menyatakan kesalahan orang lain. Kepada para murid, Sang Guru menasihatkan: ”Kalau saudaramu berdosa terhadapmu, pergilah kepadanya dan tunjukkanlah kesalahannya. Lakukanlah itu dengan diam-diam antara kalian berdua saja. Kalau ia menurut kata-katamu, maka berhasillah engkau mendapat saudaramu itu kembali” (Mat. 18: 15, BIMK).
Menegur sebagai Saudara
Menarik disimak, Yesus mengajak kita memandang orang lain dalam persekutuan itu sebagai saudara. Kata ”saudara” berasal dari bahasa Sansekerta. Arti harfiahnya ”satu perut”.
Saudara berarti bukan musuh. Saudara berarti juga antara kita dan orang itu mengalir darah yang sama. Aneh rasanya jika kita saling bertikai dengan saudara sendiri. Itu berarti kita menginginkan yang terbaik bagi orang tersebut. Dan menegur merupakan salah satu cara untuk memberikan yang terbaik bagi orang yang kita kasihi.
Contoh gamblang: Mengapa suami atau istri atau anak atau orang tua menegur kita? Karena kita dikasihinya. Aneh rasanya jika kita menegur anak tetangga! Dan Yesus menekankan pentingnya berani menyatakan kesalahan seseorang karena dia, sekali lagi, adalah saudara kita.
Namun, sekali lagi pada kenyataannya, tak banyak yang berani menegur orang lain. Ia takut akan tanggapan orang itu. Jika pun ada keberanian, kadang banyak orang lebih suka membicarakannya tanpa ada orangnya. Akhirnya kesalahannya itu menjadi konsumsi banyak orang. Kalau dahulu dengan mulut kita, sekarang ini dengan jari kita melalui smartphone kita.
Berdua Saja
Yesus menasihati, jika hendak menegur, mulailah dengan berdua saja. Baru setelah itu tiga orang. Dengan cara ini, orang tersebut tidak merasa dihakimi dan kesalahan yang dilakukannya tidak menjadi konsumsi publik. Dan alasan Yesus sangat sederhana: hanya dengan cara itulah kita akan mendapatkannya kembali.
Yesus menekankan pentingnya memulai percakapan di antara dua orang saja. Percakapan antarhati memang hanya mungkin dilakukan dua orang. Kalau banyak orang, akhirnya menjadi percakapan banyak hati. Ujung-ujungnya sarasehan atau diskusi. Masak kesalahan orang menjadi bahan diskusi?
Itu berarti, cara menegur sungguh penting. Kalau menegur, tegurlah tanpa ada orang lain yang tahu. Langsung menegur di hadapan banyak orang—juga dalam kelompok WA—hanya akan membuat orang merasa dipermalukan, dihakimi, dan akhirnya melihat pembelaan diri sebagai jalan keluar terbaik; atau menutup telinganya.
Menegur berdua saja merupakan kiat sederhana menebar damai. Percayalah orang yang berbuat salah pastilah dalam hatinya merasa bersalah. Ketiadaan teguran bisa jadi membuat dia malah merasa bahwa tindakannya itu benar. Sehingga ketika disapa karena kesalahannya itu, awalnya mungkin dia marah, namun selanjutnya akan berterima kasih karena orang berkenan meluangkan waktu dan ruang di hati untuk menegurnya.
Sekali lagi, cara menjadi penting di sini. Dan ketika menegur orang lain, kita perlu memastikan orang itu tahu bahwa kita sungguh mengasihinya. Teguran itu bukan untuk kepuasan hati kita. Caranya, perlihatkan paras kita. Pandangan kita bukanlah pandangan kebencian, tetapi pandangan keprihatinan.
Ketika menegur orang lain, sejatinya kita sedang menjadi saudara baginya. Pada titik itu kita sedang mengingatkan mereka bahwa mereka adalah milik Kristus. Kenyataan inilah yang membedakan kita dengan orang lain. Saudara dan saya adalah milik Kristus. Milik Kristus berarti hidup menurut aturan Kristus.
Kita menegur karena enggak rela jika saudara kita berbuat salah. Prinsip persaudaraan, ya begitu, enggak rela kalau saudaranya berbuat salah. Kita merasa sayang. Sebab dalam persekutuan, kesalahan dia sebenarnya telah menjadi kesalahan kita.
Dan kesalahan harus diperbaiki. Sebab, tanpa kebenaran tak mungkin ada kedamaian. Dengan kata lain, kedamaian akan terwujud ketika kita semua mau menegur satu sama lain sebagai saudara.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa