Menjadi Terang

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. Sebab sesungguhnya kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu” (Yes. 60:1-2).

Inilah panggilan Allah dalam diri setiap umat-Nya. Menjadi terang. Alasannya sederhana karena terang Tuhan telah terbit atas kita dan kemuliaan-Nya nyata dalam kehidupan kita. Pertanyaannya sederhana, bagaimana caranya?

Pertama, terimalah terang itu! Jangan tolak terang itu! Saudara dan saya hanya mungkin menjadi terang kala kita menerima terang itu. Dengan kata lain, kita mesti mau diterangi. Kedua, hiduplah dalam terang itu! Ketiga pantulkanlah terang itu.

Pada titik ini kita dipanggil untuk bersikap dan bertindak sebagai bulan sebagaimana dalam sistem tata surya kita. Bulan bukanlah sumber terang. Sumber terang adalah matahari. Namun, kita, orang-orang di bumi bisa merasakan terang matahari di waktu malam karena bulan mau memantulkan cahaya matahari. Dengan kata lain, jangan menikmati terang matahari itu sendirian. Kita dipanggil untuk memantulkannya kembali agar orang-orang di sekitar kita juga merasakan terang matahari itu pada waktu malam.

Mengapa ini penting? Sebab manusia butuh terang. Tanpa terang itu mustahil kita dapat melihat. Dan Bukan tanpa maksud, jika pada hari pertama dalam kisah penciptaaan Allah berfirman, “Jadilah terang!” (Kej. 1:3). Menarik disimak, terang itu diciptakan lebih dahulu ketimbang Matahari, bulan, dan bintang! Terang merupakan hal utama dalam kehidupan. Terang merupakan personafikasi Allah sendiri.

Ya, manusia butuh terang. Terang boleh dikata merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Apa artinya ada sandang, pangan, papan, tetapi semuanya serbagelap. Makan pun susah! Apa enaknya punya rumah mewah, berbaju bagus, kalau tak ada terang! Siapa yang bisa menikmati semua itu?  Semuanya serbakacau tanpa terang!

Dunia semakin gelap. Yang akhirnya, kadang membuat orang bingung dalam mengambil keputusan! Sekali lagi, karena serbatak jelas. Yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Dalam keadaan begini, jelaslah dunia butuh terang. Manusia butuh Allah!

Tujuan Yesus datang ke dunia ialah untuk menerangi dunia yang gelap ini dengan diri-Nya sendiri. Dan kita sebagai seorang Kristen—jangan lupa, Kristen artinya pengikut Kristen—dipanggil untuk mengikuti jejak Kristus, menerangi dunia.

Saudara dan saya dipanggil untuk menerangi dunia. Ini sesuatu yang logis dan sudah semestinya. Terang tak perlu, dan memang tidak mungkin, disembunyikan. Enggak pernah ada dalam sejarah bahwa terang itu kalah dari gelap. Gelap sepekat apa pun akan sirna dengan adanya seberkas sinar terang. Meski hanya seberkas sinar. Dan tidak pernah terjadi terang itu dikalahkan oleh kegelapan. Itu sesuatu yang mustahil. Sehingga Yesus menyatakan agar kita memancarkan terang itu di depan orang. Sekali lagi, dunia membutuhkannya!

Terang harus terpancar karena itulah hakikat terang. Dan yang namanya terang itu tidak akan pernah untuk dirinya sendiri. Menarik disimak bagaimana seberkas sinar itu pergi ke segala penjuru untuk menerangi. Terang tidak mungkin menerangi dirinya sendiri. Hakikat terang ialah senantiasa menyebar. Hakikat terang ialah berbagi!

Apa yang mau dibagikan? Mari berbagi cerita! Itulah yang dilakukan Yohanes Pembaptis. Ia tidak membiarkan orang berfokus pada dirinya, tetapi mengarahkan orang kepada Yesus Orang Nazaret (Mrk. 1:7-8). Paulus pun ingin memberi lebih kepada para pengikut Yohanes Pembaptis (Kis. 19:1-7). Ia memberi pengertian lebih. Ia enggak tega jika mereka hanya berhenti pada baptisan Yohanes. Ia ingin orang-orang itu naik kelas.

Kita pun perlu berbagi cerita. Namun, jangan hanya berfokus pada diri sendiri. Ceritakanlah Tuhan yang telah berkarya dalam diri kita. Kadang berbagi cerita pun bisa tanpa kata. Ketika orang merasakan sukacita kita dan akhirnya turut bersukacita, itu sudah lebih dari cukup.

Pertanyaannya sekarang: ”Apakah kehadiran kita membuat orang di sekitar kita sungguh bersukacita? Apakah orang di sekitar kita menjadi bersemangat? Apakah kehadiran kita membuat orang menjadi semakin percaya diri?”

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Anton Budianto