Menjadi yang Diperkenan Allah

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Mat. 3:17). Berkenan berarti merasa senang. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Inilah Anak-Ku yang Kukasihi. Ia menyenangkan hati-Ku.”

Ini semacam deklarasi. Allah Bapa menyatakan kepada dunia bahwa Yesus Orang Nazaret adalah Anak yang dikasihi-Nya. Dalam kata ”kukasihi” terkandung pemahaman ”satu-satunya”. Bisa dipahami jika dalam Alkitab TB-2 tertera: ”Inilah Anak-Ku yang terkasih, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Pertanyaannya: Apa yang menyenangkan hati Allah Bapa? Jawabnya: peristiwa baptis itulah yang membuat Sang Bapa berkenan.

Peristiwa Baptis

Peristiwa baptis itu memang bukan peristiwa biasa. Penulis Injil Matius mencatat: ”Kemudian datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya” (Mat. 3:13). Yesus dengan kehendak sendiri menyatukan diri-Nya dengan gelombang manusia yang ingin dibaptis Yohanes.

Yohanes Pembaptis pun sepertinya kaget. Di hadapannya berdiri Yesus dan memohon untuk dibaptis. Anak Zakharia itu serta merta menolak. Dia tahu diri. Sehebat-hebatnya dia, Anak Yusuf—Yesus Orang Nazaret itu—jelas lebih hebat. Dan Yohanes langsung mencegah. ”Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?” (Mat. 3:14). Yohanes merasa lebih tepat dibaptis ketimbang membaptis.

Yohanes Pembaptis memahami, tugasnya ialah membaptis orang yang bertobat. Baptisan itu merupakan tanda pertobatan; sekaligus tanda dimulainya hidup baru. Hal itu tentu tak berlaku bagi Yesus karena Dia manusia nirdosa. Baptisan itu bisa merendahkan martabat-Nya.

Menanggapi keberatan sepupunya itu, Yesus punya jawaban jitu: ”Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.” (Mat. 3:15).

Demikianlah alasan Yesus. Karena alasan itulah, Dia meninggalkan Galilea menuju Sungai Yordan. Demi alasan itu pulalah Anak Yusuf mohon baptisan kepada Anak Zakharia. Tampaklah, menggenapkan seluruh kehendak Allah merupakan jalan hidup Yesus Kristus. Dan Yesus mengajak Yohanes untuk turut serta berjalan di jalan hidup itu.

Jalannya memang tak mudah. Hambatan terbesar—namun yang pertama harus diberantas—berasal dari dalam diri sendiri: keakuan manusia. Keakuan manusia tak melulu soal kesombongan pribadi. Terkadang hanya perkara kepantasan. Yohanes Pembaptis tak merasa pantas membaptis Yesus. Tindakan itu tak sesuai kaidah masyarakat. Jika kita ada di sana, mungkin kita pun tak rela menyaksikan Yesus dibaptis. Kalau kita protes, putra Yusuf itu pun akan mengucapkan hal yang sama: ”Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.”

Menggenapi Seluruh Kehendak Allah

Yang terutama dalam diri Yesus ialah menggenapi seluruh kehendak Allah. Dan seluruh berarti 100 persen. Dan untuk itu Yesus tidak mundur, meski banyak orang terkaget-kaget dibuat-Nya karena, sekali lagi, baptisan itu merupakan tanda pertobatan. Yesus agaknya tidak mempedulikan apa kata orang. Yang penting bagi Dia ialah kehendak Allah digenapi dalam hidup-Nya.

Mendengar alasan Yesus itu, Yohanes pun tak punya jalan lain kecuali menuruti apa yang Yesus inginkan. Yohanes pun tak memiliki perbedaan paham berkait dengan kehendak Allah. Mereka berdua sepakat untuk melakukan kehendak Allah. Itulah bukti nyata hidup kehambaan mereka.

Setelah pembaptisan, Matius mencatat: ”pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: ‘Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan'”. Tindakan Yesus—dalam peristiwa baptis itu—diperkenan Allah.

Tampak jelas ada kaitan erat antara menggenapi seluruh kehendak Allah dengan pernyataan Allah itu. Dengan kata lain, Allah berkenan kepada setiap orang yang menggenapi seluruh kehendak-Nya.

Hamba TUHAN

Pada titik itulah, Yesus telah menggenapi nubuat Yesaya dalam diri-Nya! Yesaya bernubuat: ”Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa.” (Yes. 42:1). Tentu, hukum yang dimaksud di sini adalah hukum Allah—kehendak Allah.

Menarik disimak, dalam menjalankan hukum Allah tersebut, hamba Tuhan itu tak akan berteriak atau berseru dengan nyaring, suaranya tak akan terdengar di jalan. Buluh yang terkulai tak akan dipatahkannya, pelita yang kelap-kelip tak akan dipadamkannya. Dengan setia ia akan menyatakan kebenaran, tanpa bimbang atau putus asa, sampai keadilan ditegakkan di bumi. (Yes. 42:2-4, BIMK).

Kerendahan hati merupakan gaya hidupnya. Dia tidak merasa perlu berteriak mengabarkan kebenaran. Kebanyakan orang jika merasa diri benar akan berteriak lebih keras ketimbang orang lain. Sekali lagi, karena merasa diri benar.

Nah, ketimbang berteriak, Petrus bersaksi, Yesus menggenapi kehendak Bapa itu dengan ”berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis….” (Kis. 10:38).

Tak hanya itu, Yesus juga sabar terhadap kelemahan orang lain. Bicara soal kelemahan orang, Petrus merupakan sosok yang sungguh merasakan kesabaran hati Sang Guru. Meski pernah disangkal, Yesus tetap menerima Petrus apa adanya. Dan kesabaran berkait erat dengan kerendahan hati.

Berkait kerendahan hati, kita perlu belajar berdoa sebagaimana Paus Yohanes XXIII: ”Yesus, hikmat kebijaksaan yang hidup, dekatkanlah kepalaku dengan hatiku!”

Secara harfiah, itu berarti sikap tubuh menunduk, bak padi yang makin berisi makin merunduk. Dan di hadapan Tuhan, tak ada yang bisa dilakukan setiap makhluk kecuali merunduk tanpa syarat. Bagaimanapun, Dialah Sang Pencipta.

Dan sejatinya, ketika Yesus bersikukuh untuk dibaptis Yohanes, itu juga memperlihatkan kerendahan hati-Nya. Bayangkan ketika Dia menerima baptis berarti Yesus menundukkan kepala-Nya, bahkan tubuh-Nya di hadapan Yohanes. Membungkuk memperlihatkan kerendahan hati yang sebenarnya. Dan kita hanya bisa membungkuk kepada Allah yang tidak kelihatan jika kita sanggup tunduk kepada manusia yang kelihatannya.

Berhiaskan Kekudusan

Karena itulah Daud bermadah: ”Berilah kepada Tuhan kemuliaan nama-Nya, sujudlah kepada Tuhan dengan berhiaskan kekudusan” (Mzm. 29:1-2).

Berhiaskan kekudusan merupakan panggilan umat percaya. Mengapa? Karena kita hamba Allah. Allah itu kudus, masak hambanya kagak? Lagipula, bukankah kita senang disebut anak Allah. Kalau Bapa kita kudus, dan kita tidak hidup kudus, lalu kita anak siapa?

Berkait kekudusan, mungkin lebih gampang dilakukan ketika kita bertemu banyak orang. Ketika tidak ada orang yang melihat, kadang kita merasa aman bertindak semaunya. Toh tidak ada orang yang melihat.

Kekudusan, sama halnya dengan integritas, semestinya tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain. Dan itulah yang diperkenan Allah!

Yoel M. Indrasmoro

Gambar: Istimewa