Menulis Untuk (dan Bersama) Guru Pembelajar

Published by Kris Hidayat on

Teman saya adalah seorang guru yang mengikuti pelatihan penulisan yang diadakan Tangan Terbuka Media secara online. Lalu saya bertanya, apakah dia sudah menemukan ”wow moment” untuk menulis artikel sebagai tindak lanjut dari pelatihan kami tersebut.

”Sering kali ketika saya menemukan ide, tapi kemudian tidak jadi menulisnya, karena berpikir apakah ini layak ya menjadi tulisan,” responsnya. Ia menyatakan keraguan apakah suatu ide menulis itu benar menjadi momen ”Ureka!”. 

Saya tergerak untuk mendiskusikannya, ”Paling tidak, perlu ada satu orang pembaca tulisan kita, yakni seseorang yang membantu penulis untuk menilai apakah tulisan itu punya sesuatu nilai yang layak.” Saya berteori, secara logis saja. Kalau tidak pernah ditanyakan kepada orang lain, barangkali kita tidak pernah melihat apakah tuisan kita punya ”sesuatu” yang menjadi alasan kita untuk terus menuliskannya, menulis ulang dan akhirnya menyelesaikannya.

Lalu kami berdiskusi tentang salah satu karakter guru dari status di media sosialnya: Faithful, Available, dan Teachable. Barangkali teman saya sedang mengikuti training guru, atau kegiatan lain. Saya tertarik membahasnya karena ketiga karakter itu juga diperlukan oleh seorang penulis. Seorang yang menulis pastilah seseorang yang punya kesetiaan, mengatur waktunya sedemikian rupa dan tentulah seorang yang tekun belajar hingga sebuah tulisan terlahir pada akhirnya.

Menulis untuk Guru

Saya juga teringat banyak teman saya yang jadi pengajar dan memiliki karakter-karakter yang lebih dari tiga hal tersebut. Namun, mengajak mereka menulis buku adalah sebuah tantangan dan perlu pengalaman yang berbeda untuk mewujudkannya. Namun, pasti ada cara untuk memulainya, lalu saya terpikir untuk memulai menulis untuk guru.

Saya lalu bercerita tentang hadirnya teknologi artificial intelligence yang kini tidak saja menggoncang dunia pendidikan, tetapi juga dunia tulis-menulis. Dengan hadirnya teknologi model bahasa yang berbasis pada algoritma deep learning atau dikenal dengan GPT (Generative Pre-trained Transformer). Sederhananya, sebuah program yang hadir dan menjadi robot pintar yang seakan bisa menjawab semua pertanyaan penggunanya.

Mari kita buktikan teknologi tersebut: Ketika saya masukkan ketiga kata kunci, Faithful, Available, dan Teachable, dalam hitungan detik saya diberi satu penjelasan singkat tentang karakter guru yang dirangkum dalam poin penjelasan:

Faithful: A teacher who is faithful is committed to their students and their profession. They are reliable, dependable, and consistent. They show up on time, meet their commitments, and follow through on their promises. They are also loyal to their students, advocating for them and supporting them in their learning journey.

Available: A teacher who is available is willing to be present for their students, both physically and emotionally. They make themselves accessible to their students and are approachable and open-minded. They listen actively to their students and are responsive to their needs, both in and out of the classroom. They are also willing to make time for their students, whether it’s during office hours or after school.

Teachable: A teacher who is teachable is willing to learn and grow alongside their students. They are open to new ideas and approaches and are willing to adapt their teaching style to meet the needs of their students. They seek out feedback from their students and colleagues and are willing to make changes based on that feedback. They also continue to develop their own knowledge and skills through ongoing professional development.

Lalu ketika saya mengeksplorasi jawaban lain, cukup banyak bahan lain serupa. Tentang karakter guru, tidak lagi tiga hal, tetapi bisa menjadi 10 hal lain. Aplikasi teknologi kecerdasan buatan, kini bahkan telah hadir dan melingkupi dunia literasi dan pendidikan, tak terkecuali dunia tulis-menulis. Dalam hitungan detik, tiga kata, telah menjadi paragraf dalam bahasa Inggris, lalu detik berikutnya bisa dibaca terjemahan dalam bahasa kita. Tak mengherankan karena ini memang kecerdasan buatan dalam berbahasa.

Menulis bersama Guru

Teman saya bertanya, lalu apa masih perlu kita menulis, kalau masa depan sudah digantikan dengan robot dan aplikasi pintar? Mengulangi pendapat Pdt. Yoel M. Indrasmoro, saya sampaikan bahwa robot dan mesin boleh jadi seolah banyak akal, tetapi belum tentu berbudi. Tugas kita sebagai penulislah yang membuatnya berisikan budi pekerti yang diperlukan peradaban dunia nantinya. Lagipula, GPT adalah rangkuman pemikiran manusia yang tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban secara moral. Sebab, semua bersifat serbaanonim. Tentu menulis tentang guru atau menulis untuk para guru, sudah banyak orang yang melakukannya dan dipermudah dengan adanya teknologi dan digitalisasi, semestinya. Yang diperlukan adalah lebih banyak guru-guru pembelajar menjadi penulis yang mampu menceritakan dan menularkan visi mulia guru untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya pengalaman guru yang bisa memberikan sentuhan inspirasi kepada para guru lain, dan demikian menggerakkan hati dalam kepedulian yang nyata.

Hidayat Kristono | Tangan Terbuka Media

Foto: Unsplash/Christiana