Pekerjaan dan Uang

Membicarakan masalah pekerjaan dan uang pada seorang fresh graduated membuka pengalaman baru. Mendengar kegalauan mereka dalam mencari pekerjaan, keresahan karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan. ”Kalau saya bekerja tidak sesuai dengan jurusan perkuliahan saya, apakah hal ini tidak disayangkan?” Namun, untuk mendapatkan pekerjaan sesuai atau tidak sesuai dengan bidang perkuliahan saja sudah begitu sulit. Wawancara demi wawancara, dan berakhir dengan penolakan, atau honor yang tidak sesuai dengan standar yang dibayangkan. ”Padahal untuk kuliah di universitas ini saja persaingannya begitu ketat, dan setelah masuk harus belajar giat…. Saya bahkan lulus dengan nilai tinggi.”
Mendengar keluh kesahnya membuat saya mengingat masa-masa saya seumurnya. Mencari pekerjaan memang tidak mudah, baik sekarang maupun dulu. ”Tapi, sebagai orang tua… saya lebih mengharapkan anak saya hidup bahagia, dibandingkan mempunyai uang banyak, tapi tidak bahagia. Bekerja dengan happy, tidak hanya melulu karena uangnya. Kalau kita bekerja dengan happy, pasti hasilnya berbeda.” Kata saya kepadanya. ”Bagaimana bisa bahagia kalau tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari?” keluhnya kembali.
Saya memandang pemudi berusia 22 tahun ini dengan lekat. Apakah yang menjadi kebutuhan sehari-harinya? rumah, mobil, gadget, liburan, bukankah semua masih dalam pembiayaan orang tuanya?
”Sejujurnya, ramen yang paling enak itu mi instan,” saya mengalihkan pembicaraan, ”Padahal bisa jadi 20 bungkus mi instan untuk 20 kali makan itu seharga satu mangkuk ramen untuk satu kali makan. Namun, kita kadang merasa bangga bisa makan ramen yang kekinian, walaupun dalam hati kita tetap mengakui rasanya tidak seenak mie instan.” Dia pun tersenyum mendengarnya, ”Tapi benar juga, ya Tan!”
Kita memang memerlukan uang untuk hidup. Tetapi, uang bukan jaminan untuk segalanya. Saya teringat setahun yang lalu ketika anak saya mengatakan rasanya tidak mungkin meraih cita-citanya karena faktor biaya. Saat itu saya mengatakan, cita-cita memang harus digantungkan setinggi langit supaya kita berusaha meraihnya. Janganlah cita-cita dihapus karena masalah uang. Namun, jangan pula uang yang akhirnya mengendalikan hidup dan cita-cita kita.
Di akhir pertemuan itu saya menjawab pertanyaannya, tidak ada ilmu yang disayangkan dalam bekerja sesuai atau tidak sesuai jurusan perkuliahan. Bukankah hidup itu sendiri adalah sebuah pelajaran yang tidak ada habisnya? Yang disayangkan adalah jika kita melakukan pekerjaan kita dengan tidak bahagia. Saya pun teringat nasihat dosen saya saat saya akan berangkat magang dulu, ”Perusahaan itu hanya mengenalmu dari selembar kertas, tunjukkanlah kualitas dirimu, baru mereka akan menghargaimu!”
Tjhia Yen Nie | Sobat Media
Foto: Unsplash/Shubham Dhage