Pemberian Terbaik

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Kisah Jumat Agung adalah kisah ”Pemberian Terbaik”. Pandanglah Sang Mesias yang terpanggang di tiang. Ia yang terangkat di salib tak dapat melakukan apa-apa. Ia memang tidak dapat berbuat apa-apa! Namun, inilah pemberian terbaik itu: Yesus menuntaskan misi-Nya. Yesus Orang Nazaret menyelesaikan tugas-Nya.

Kisah Yesus

Perhatikan catatan penulis Injil Yohanes: ”Sesudah itu, karena Yesus tahu bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia—supaya digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci—’Aku haus!’” (Yoh. 19:28). Perhatikan sekali lagi catatan kecil ini, supaya digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci. Menarik disimak, Laki-laki yang tergantung di salib itu pun masih setia menjalani proses. Ia tidak mengambil jalan pintas. Yesus merasa perlu menjalani proses setahap demi setahap, yang membuat-Nya berseru, ”Aku haus.”

Aku haus. Bisa jadi sejak penangkapan pada Kamis malam hingga Jumat siang itu, Yesus tak sempat minum. Bukan karena nggak mau minum, tetapi siapa pula yang peduli akan nasibnya?  Ia telah menjadi musuh nomor satu masyarakat saat itu. Para pejabat agamawi, pejabat pemerintah Yahudi, juga pejabat pemerintah jajahan sepakat bersekongkol untuk menjatuhkan vonis. Lalu, siapa yang peduli akan kehausan diri-Nya?

Orang-orang terdekat-Nya pun kabur semua. Mereka yang paling dekat dengan-Nya pun agaknya jeri memberikan pertolongan kepada-Nya. Dan Yesus tidak mau melompat langsung mengatakan sudah selesai. Tidak. Ia merasa perlu menyelesaikan tugasnya setahap demi setahap dan berseru, ”Aku haus!”

Dan seruan-Nya pun tidak terjawab. Tak ada air untuk diminum. Yang ada hanyalah  sebuah mangkuk penuh dengan air anggur yang asam. Dan tak gampang memberikannya karena memang Yesus berada pada posisi yang lebih tinggi. Sehingga dengan sebatang hisop yang dicelupkan dalam anggur asam itu, diunjukkanlah anggur asam itu ke mulut Yesus. Dan setelah itu berkatalah Yesus, ”Sudah selesai.” Dan matilah Dia.

Mengapa ini merupakan pemberian terbaik? Karena kita tahu betapa menyelesaikan tugas hingga selesai bukanlah perkara ringan. Tak sedikit orang yang begitu menggebu pada awalnya, tetapi akhirnya berhenti di tengah jalan; dan akhirnya menyerah.

Yesus pun tak lepas dari godaan itu. Di Taman Getsemani, dalam kegentaran akan penuntasan misi itu, Ia mencoba curhat baik kepada manusia maupun kepada Sang Bapa, ”Jikalau cawan ini lalu!”

Bahkan, di salib itu, ada juga godaan bagi Dia untuk turun dari salib. Orang-orang, yang menyaksikan sengsara-Nya, bahkan berkata, ”Turunlah, dan kami akan percaya!” Turunkah Yesus? Untungnya tidak! Bisa turunkah? Jelas bisa! Turunkah Yesus? Untungnya tidak! Dia setia meniti duka di jalan nestapa hingga akhir. Dan puncak-Nya adalah ialah kala Ia berseru, ”Sudah selesai!”

Betapa sering sesuatu begitu mudahnya dimulai, tetapi tak kunjung selesai. Sehingga menyelesaikan tugas merupakan prestasi. Sekali lagi lagi, karena memang tak banyak orang yang menyelesaikan tugasnya hingga selesai. Ya, sudah selesai! Proses selama 33,5 tahun—sejak Natal itu pun tuntas! Sudah selesai. Wis rampung!

Kisah Yusuf dari Arimatea

Menarik, bagaimana kisah pemberian terbaik di Jumat Agung itu ternyata menular. Yusuf dari Arimatea tiba-tiba muncul di permukaan. Penampilannya dimuka umum bukan tindakan sembarangan. Lagi pula, ia yang meminta izin kepada Pilatus untuk menurunkan Yesus dari salib dan menguburkannya. Risiko yang tak kecil. Sebab dengan begitu ia telah menyatakan diri kepada umum bahwa dia adalah pengikut dari Sang Penjahat dari Nazaret.

Yusuf dari Arimatea sendiri bukanlah pribadi sembarangan. Dia agaknya seorang yang kaya. Pada masa itu tak sedikit orang yang memberi tanah makam di Yerusalem karena memang banyak orang Yahudi berniat mati dikuburkan di Yerusalem, ibu kota kerajaan Israel. Agaknya, Yusuf dari Arimatea pun telah menyiapkan kubur bagi dirinya sendiri.

Namun, inilah pemberian yang terbaik itu, kubur yang telah disiapkan bagi dirinya sendiri itu—kubur yang belum pernah dipakai orang—diberikan kepada Yesus Orang Nazaret. Inilah pemberian terbaik itu. Ukuran terbaik di sini adalah apa yang terbaik untuk standar dirinya, serbakelas satu! Dan itulah yang diberikan kepada Yesus. Kita tidak tahu apa yang ada di benak Yusuf dari Arimatea. Namun, ia sepertinya mau memberikan yang terbaik bagi diri-Nya untuk guru-Nya. Ia tidak itung-itungan.

Kisah Nikodemus

Pemberian terbaik juga diberikan Nikodemus.  Penulis Injil Yohanes mengingatkan pembacanya bahwa Nikodemus adalah orang farisi, seorang anggota mahkamah agama, yang datang pada waktu malam untuk bercakap-cakap dengan Yesus. Dan sekarang dia tidak datang pada waktu malam, tetapi secara terus terang dia bersama Yusuf dari Arimatea meminta jenazah Yesus untuk dikuburkan. Ini memang bukan tanpa risiko. Tetapi, Nikodemus bersedia mengambil risiko itu: menjadi sahabat dari musuh nomor satu masyarakat saat itu.

Tak hanya itu. Agaknya ia juga telah mempersiapkan diri. Nikodemus membawa ramuan mur dan gaharu—seluruhnya kira-kira tiga puluh kilogram banyaknya. Ramuan mur dan gaharu yang dibawa tidaklah sedikit. Jika kita hargai Rp 500 ribu saja, maka butuh dana Rp 15 juta untuk memuliakan tubuh Yesus. Bukan jumlah sedikit. Namun, Nikodemus agaknya sudah menyiapkan diri untuk memberikan yang terbaik. Sama seperti Yusuf dari Arimatea, ia pun tidak itung-itungan lagi.

Mengapa? Agaknya, Nikodemus memahami bahwa Yesus orang Nazaret telah menerima dia apa adanya. Yesus tidak meremehkannya. Dan karena itulah dia ingin memberikan yang terbaik bagi Sang Guru!

Kisah kita?

Kisah Jumat Agung adalah kisah pemberian terbaik: kisah Yesus, kisah Yusuf dari Arimatea, juga kisah Nikodemus. Semua memberikan yang terbaik dari apa yang dapat diberikan! Bagaimana dengan kita?

Dalam Kidung Jemaat 169 ”Memandang Salib Rajaku”, Isaac Wats menulis: ”Andaikan jagad milikku dan kuserahkan pada-Nya, tak cukup bagi Tuhanku diriku yang diminta-Nya.”

Tuhan ingin diri kita seutuhnya: tubuh kita, pikiran kita, hati kita, kekuatan kita. Itulah pemberian terbaik yang bisa kita berikan. Pertanyaannya: Maukah kita?

Yoel M. Indrasmoro  

Foto: Istimewa