Pengharapan dan Keputusasaan dalam Gereja

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Nouwen mengajak kita melihat dan mengakui level ketiga dari keputusasaan itu ada di dalam gereja. Sulit rasanya mendiskusikan keputusasaan jenis ini. Mungkin kita bisa memahami kekacauan dunia, yang sedang berjuang dengan kesakitan dan kekerasan. Akhirnya, hanya kembali kepada gereja, yang harus memberikan kita kegembiraan dan pengharapan. Namun beberapa dari sebagian besar keputusasaan yang sulit dipecahkan itu tepatnya datang dari gereja.

Ada orang-orang yang berkata demikian: “Saya bisa memahami kesendirian. Saya bisa memahami kecemasan berat dunia, tetapi yang tidak dapat saya pahami adalah fakta bahwa di dalam gereja orang-orang selalu bertengkar, dan terpecah-pecah di dalam konflik. Anda berharap gereja sebagai sumber pengharapan dan di sini semua anggotanya berjuang.”

Gereja-gereja tertentu bisa sungguh-sungguh terluka oleh adanya konflik di antara anggota-anggotanya. Orang tidak mau lagi ke gereja, mereka meninggalkan gereja. Akan tetapi, dengan meninggalkan gereja yang berantakan dan perpecah-pecah itu mereka akhirnya lebih menderita kesepian dibanding sebelumnya dan sering merasa mereka berjalan tanpa Yesus lagi.

Seorang rohaniwan yang melayani di daerah rawan konflik bersenjata, bercerita demikian: “Saya tersentuh dengan penganiayaan yang dilakukan oleh militer dan negara. Fakta yang ada ialah beberapa dari temah-teman rohaniwan gereja di mana saya melayani justru melawan saya, dan melukai saya lebih dalam jika dibandingkan dengan orang lain.”

Penganiayaan yang paling menyakitkan tampaknya datang dari tempat-tempat yang sebenarnya tidak diduga. Yesus menderita keputusasaan itu juga. Di dalam kegelapan kubur-Nya Ia mengalami keputusasaan yang terjadi di antara pengikut-pengikut-Nya, umat-Nya, gereja-Nya. Kita dicobai supaya melarikan diri dan berkata, “Saya tidak ingin dihubung-hubungkan dengan gereja karena gereja telah hancur dan karenanya membutuhkan terlalu banyak pemikiran dan penanganan.”

Akan tetapi, kita dipanggil untuk membentuk komunitas pengharapan. Kita dipanggil untuk hidup bersama-sama, setia kawan dengan kaum lemah, untuk menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Kita tidak perlu meromantiskan perutusan ini, karena ini adalah tugas kerendahan hati. Sangat sederhana, kita harus mengajak saudara-saudara kita bersama-sama – mungkin hanya tiga, sepuluh, atau lima puluh – dan berkata, “Kita mau datang bersama-sama sebagai orang-orang yang berdoa di dalam penderitaan umum kita.”

Ya, memang ada keputusasaan di dalam gereja. Akan tetapi, bagaimanapun juga gereja tetap dipanggil untuk menjadi tempat bagi orang yang putus asa, yang kesepian, yang mengalami luka batin untuk mencari pribadi yang dapat memberkati dan mengampuni. Untuk itu gereja perlu belajar dan berada bersama dengan orang miskin dan lemah, kaum pinggiran yang ditolak dan dilupakan, dan yang paling tidak berarti. Mereka akan menunjukkan bagaimana kita juga belajar mau mengakui dan menerima keputusasaan kita sendiri.

Semoga kita juga bisa sampai pada makna yang mendalam dari kata-kata Nouwen berikut ini: “Doa orang yang imannya kecil adalah doa tanpa pengharapan. Demikian juga doanya tidak menyuarakan keputusasaan. Sebab, putus asa hanya mungkin bagi orang yang tahu arti pengharapan.”

Tyas Budi Legowo

Foto: GPIB Immanuel (Wikipedia)

Categories: Tala