Perumpamaan Bendahara yang Tidak Jujur
Apa yang hendak diajarkan Tuhan Yesus berkait ”Perumpamaan Bendahara yang Tidak Jujur” ini?
Janganlah kita mengatakan bahwa Tuhan Yesus menyetujui ketidakjujuran bendahara itu! Bagaimanapun, dia tidak mengerjakan tugasnya dengan baik. Dia bukan saja lalai dalam perhitungan, tetapi sengaja menghamburkan harta majikannya. Dengan kata lain bendahara itu telah mengubah dirinya dari pengelola menjadi pemilik harta tuannya.
Di sinilah persoalan besar sang bendahara. Dia telah bertindak sebagai pemilik harta tuannya. Dia telah lupa—atau sengaja melupakan—hakikat diri sebagai pelayan. Tak hanya itu, dia malah mengangkat dirinya menjadi tuan. Memang bukan dalam arti sebenarnya. Akan tetapi, apa bukan tuan namanya kalau dia merasa boleh menggunakan harta yang bukan miliknya itu sesuka hatinya?
Pada titik ini pula, kita bisa mengatakan bahwa bendahara itu bukanlah tipe manusia setia. Dia tidak setia dalam kapasitasnya sebagai hamba. Mengapa? Karena dia telah bertindak tidak benar dalam menjalani tugas kehambaannya. Dan akibatnya jelas: PHK.
Menghargai Kepercayaan
Perumpamaan ini mengingatkan kita untuk menjalani tugas kehambaan kita dengan setia. Artinya, saya dan Saudara dipanggil untuk setia terhadap profesi yang kita emban, apa pun profesi tersebut. Sebab dalam setiap profesi itu ada kepercayaan.
Perhatikanlah kembali hamba itu. Jabatan bendahara tentu bukan jabatan remeh. Orang yang mengelola uang pastilah sangat dipercaya majikannya. Dia bukan orang sembarangan. Dia dipercaya mengelola harta tuannya. Adakah di antara kita yang mempercayakan harta kita pada sembarang orang?
Dan kepercayaan itu mahal harganya. Kita punya peribahasa: sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya! Artinya, ketika kita menganggap remeh kepercayaan orang kepada kita, pada titik itulah kita telah menggali lubang untuk kuburan kita sendiri. Karena sekali orang tak percaya dengan kita, sulitlah bagi kita untuk mengembalikannya. Ya, seperti tadi: menggali lubang untuk diri sendiri.
Dengan demikian, menghargai kepercayaan orang sejatinya—kalau mau ditelusuri dengan cermat—ujung-ujungnya untuk kemaslahatan diri sendiri. Artinya, menghargai kepercayaan orang lain berarti menghargai diri sendiri. Sebaliknya, menganggap rendah kepercayaan orang lain kepada diri kita berarti kita telah menganggap rendah diri kita sendiri.
Dan itulah yang terjadi pada Israel. Mereka dibuang karena tidak menghargai penyelamatan Allah terhadap diri mereka. Mereka dihukum karena lupa akan hakikat diri sebagai hamba Allah. Dan itulah yang membuat Yeremia, serta seluruh Israel, meratap.
Visi ke Aksi
Sekali lagi, situasi bendahara dalam perumpamaan Tuhan Yesus itu tak beda dengan situasi Israel. Mereka sama-sama dihukum. Namun, sang tuan memuji kecerdikan bendahara tersebut. Bendahara itu cerdik karena dia mampu menyadari keberadaannya di masa depan dan cekatan mengambil tindakan-tindakan nyata.
Dalam perumpamaan ini jelaslah apa yang akan dihadapinya. Nasibnya sudah jelas. Dia telah dipecat. Nasibnya telah terbayang di benaknya. Dan dia cukup tahu diri dengan kemampuan dirinya. Perhatikan kembali solilokui bendahara tersebut: ”Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara. Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu” (Luk. 16:3).
Perhatikan, dalam refleksinya dia tahu keberadaan dirinya. Dia tahu diri. Mencangkul nggak bisa, mengemis malu. Lalu, mau jadi apa? Ya. Pada titik ini, masa depannya sudah jelas, dia nggak mungkin menjadi petani atau pengemis.
Dia ingin selamat. Itulah visinya sekarang. Jika mau selamat, bendahara itu harus melakukan sesuatu. Dan demi mempertahankan hidupnya, dia mengambil jalan untuk mengambil hati orang-orang yang mempunyai utang terhadap tuannya. Dengan cara demikian, sesungguhnya dia telah berupaya menyelamatkan nyawanya. Paling tidak dengan kegiatannya itu dia telah berpiutang budi.
Inilah visi. Visi yang kuat memampukan manusia beraksi. Visi tanpa aksi hanyalah impian. Dan aksi tanpa visi merupakan kegiatan tanpa arah. Visi bendahara tadi jelas: menyelamatkan nyawanya. Keinginan menyelamatkan nyawa tersebut membuat dia melakukan tindakan-tindakan nyata.
Visi itu tak ubahnya cita-cita. Semasa hidupnya Bung Karno pernah berujar: ”Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit… Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang!” Cita-cita mesti tinggi. Namun, jangan hanya senang punya cita-cita. Usahakan cita-cita itu dengan maksimal. Sebab kalau gagal pun kita masih ada di antara bintang-bintang.
Sejatinya, visi memang harus diwujudkan. Jika tidak diwujudkan, visi tak ubahnya bunga tidur. Visi tak ubahnya lamunan kosong. Sebagus apa pun visi, toh harus diwujudkan. Tak ada gunanya mengagungkan visi tanpa realitas. Tak ada gunanya memuliakan visi tanpa karya nyata. Itu namanya pepesan kosong.
Perumpamaan Tuhan Yesus ini memperlihatkan bahwa para murid seharusnya tidak hanya memikirkan masa depan, tetapi mereka dapat melakukan sesuatu yang baik di masa kini. Para murid perlu belajar dari bendahara yang tidak jujur, yang mampu melihat ke depan, yang memperhitungkan keadaan, dan mampu bertindak tepat sekarang ini.
Mari kita menanggapi, semampu kita, semua tantangan yang kita hadapi. Kerjakanlah perkara-perkara kecil dengan setia. Waktunya bukanlah esok hari, tetapi saat ini!
Warnai Hari Depan Sekarang
Pada kenyataannya, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi masa di depan. Namun, saya dan Saudara dapat mewarnai masa depan itu hari ini. Jika kita mewarnai dengan warna-warni suram, suramlah masa depan kita. Jika kita mewarnai dengan warna-warni cerah, cerahlah masa depan kita. Saudara ingin masa depan cerah? Warnailah masa kini dengan warna-warni cerah!
Kita tidak tahu nasib bendahara itu selanjutnya. Tuhan Yesus tidak bercerita akhir kisah sang bendahara. Yang pasti, sang tuan memujinya. Karena apa? Karena dia berusaha mewujudkan mimpinya dalam tindakan-tindakan nyata.
Bahkan saya berani menduga, sang tuan akan memaafkannya. Mengapa? Karena dia menghendaki semua orang selamat. Lagi pula tindakan bendahara itu sebenarnya bukti bahwa dia mau berubah. Dan yang pasti Bapa di surga ingin semua orang selamat (1Tim. 2:3-4).
Amin.
Yoel M. Indrasmoro
Gambar: Istimewa