Selamat Tahun Baru!

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Tahun baru tak sekadar ganti tahun. Dalam kalender gerejawi, tahun baru Masehi patut dirayakan karena Ibu-Bapak Gereja telah menetapkan tahun baru sebagai saat Yesus disunat dan diberi nama.

Logikanya begini. Pada mulanya 25 Desember merupakan hari raya untuk Dewa Matahari. Ketimbang menentukan tanggal lain untuk Natal, Bapak-bapak Gereja sepakat membaptis hari raya itu sebagai hari kelahiran Yesus, Surya Pagi dari tempat yang tinggi (lih. Luk. 1:78). Jika 25 Desember adalah hari kelahiran Yesus, seturut catatan Lukas, delapan hari sesudah Natal adalah 1 Januari. Tak boleh kita lupa, dalam menghitung hari orang Yahudi selalu mengikutsertakan hari pertama.

Catatan Lukas berkenaan tahun baru Masehi sangat pendek. Hanya perlu satu ayat saja: ”Ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya” (Luk. 2:21).

Tampaklah dua peristiwa pada hari itu, yakni: penyunatan dan pemberian nama. Dalam peristiwa penyunatan nyatalah, kedua orang tua Yesus bukanlah orang yang gemar melanggar tradisi. Meski tahu bahwa anak sulung mereka bukan sembarang anak, mereka tidak merasa perlu meminta dispensasi. Mereka bertindak sama seperti orang tua lainnya. Mereka tidak minta keringanan atau keistimewaan, sungguhpun anak mereka merupakan sosok istimewa.

Berkait tradisi, sepertinya baik Yusuf maupun Maria adalah pribadi nggak neko-neko. Mereka menghargai tradisi yang ada. Mereka tidak mematahkan tradisi. Mereka mengikuti tradisi karena dari situlah mereka pula berasal. Melupakan tradisi tak ubahnya memutuskan diri dari sejarah sendiri. Dan bicara soal sejarah, adakah manusia tanpa sejarah? Tentu tidak ada!

Namun demikian, yang penting dicatat juga, meski Maria dan Yusuf taat pada tradisi, soal pemberian nama mereka tidak mengikuti tradisi. Lukas dengan jelas menyatakan bahwa Anak itu diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya.

Apa artinya semua ini? Hanya satu jawaban: kedua orang tua Yesus adalah penganut tradisi yang baik, tetapi mereka tidak taat buta pada tradisi. Berkenaan nama, mereka lebih menaati Tuhan ketimbang tradisi. Mereka lebih bersikap sebagai hamba Tuhan ketimbang hamba tradisi! Ketika kehendak Tuhan disandingkan dengan tradisi, mereka memilih kehendak Tuhan tanpa syarat.

Mengapa? Sekali lagi hanya satu jawaban: mereka memahami diri mereka sebagai hamba Tuhan. Mereka adalah abdi Allah—abdullah. Dan hal yang paling logis bagi seorang hamba adalah melakukan kehendak tuannya tanpa syarat.

Dan nama-Nya Yesus. Itulah nama yang diberikan Yusuf kepada anak sulungnya. Nama itu sendiri bukan sembarang nama. Yesus merupakan nama Aram untuk nama Ibrani Yesyua (bentuk singkat dari Yehosyua). Artinya: Tuhan menyelamatkan! Tuhan yang memberi keselamatan. Dan nama itu bukanlah sekadar nama karena Yesus sendirilah yang akan menyelamatkan umat-Nya.

Nama-Nya Yesus. Artinya: Tuhan menyelamatkan! Dengan kata lain: Tuhan adalah Juru Selamat. Siapa yang diselamatkan? Semua manusia! Setiap orang mendapatkan kesempatan untuk menerima penyelamatan Allah itu. Menerima atau menolak penyelamatan Allah merupakan perkara lain.

Nama-Nya Yesus. Artinya: Tuhan menyelamatkan. Inilah bekal utama kita dalam memasuki tahun 2023. Masa depan kita gelap, dan tak pasti! Hanya satu yang pasti: Allah adalah Pribadi yang siap menjadi Juru Selamat kita dalam meniti waktu! Dengan kata lain, tak ada lagi yang perlu kita takutkan pada masa datang!

Selamat Tahun Baru!

Yoel M. Indrasmoro

nb: Gambar oleh Thuan Vo dari Pixabay