Terpujilah Bapa dan Anak dan Roh Kudus

Pada Minggu Trinitas, kita kembali menyaksikan bagaimana dalam kekekalan-Nya, Allah menciptakan langit dan Bumi. ”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Demikianlah sapaan pertama bagi setiap pembaca Alkitab.
Sejatinya, kalimat pertama itu bisa merupakan pintu gerbang ketika orang membaca Alkitab. Sejatinya, itu pulalah ringkasan iman agama Yahudi, juga agama Kristen, karena kedua agama itu mengakui Perjanjian Lama sebagai Kitab Suci.
Causa Prima
Iman Kristen menekankan bahwa Allah adalah causa prima, penyebab pertama. Allah itu pencipta; yang lainnya ciptaan. Sesungguhnya, pengakuan iman macam begini sungguh radikal pada zamannya karena pada masa itu—juga masa kini—tak sedikit orang yang menganggap bahwa setiap benda memiliki kuasa karena memiliki dewanya masing-masing.
Nah, pengakuan iman ini menyatakan dengan jelas dan lugas bahwa semua hal di luar Allah adalah ciptaan. Itu berarti, manusia pun adalah ciptaan Allah.
Dalam Mazmurnya, Daud berseru: ”Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (Mzm. 8:1). Demikianlah Daud membuka dan menutup mazmurnya. Itu jugalah pengakuan iman Daud, yang mengakui Yahwe sebagai Tuhan—sebagai Tuan. Serentak dengan pengakuan itu, nyata pulalah bahwa Daud, raja Israel, mengakui diri sebagai hamba.
Relasi Tuhan-hamba itu logis. Kala seseorang menyapa pihak lain sebagai Tuan, pada saat itu pulalah dia menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih rendah. Sewaktu menyebut Allah, Sang Pencipta, sebagai Tuhan, secara tidak langsung—dan merupakan keniscayaan—kita menganggap diri hamba.
Dalam mazmurnya itu, Daud menegaskan bahwa pusat keagungan adalah Allah, bukan manusia. Allah adalah pusat penyembahan manusia, dan bukan sebaliknya. Masalahnya: yang sering terjadi bukan Allah yang disembah, tetapi manusia. Lebih sering lagi, diri sendirilah yang disembah.
Hikmat Allah
Daud cukup punya alasan untuk pengakuan imannya itu. dalam solilokuinya, dia menyatakan: ”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun, Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya…” (Mzm 8:4-7).
Jika dibanding dengan ciptaan lain, Allah menempatkan manusia pada kondisi yang sangat tinggi dan terhormat. Dia memahkotai manusia dengan kemuliaan dan hormat. Hanya kepada manusialah Tuhan mengaruniakan hikmat. Dan itulah yang membedakannya dari makhluk lain. Jika binatang mengandalkan naluri untuk mempertahankan hidupnya, manusia mengandalkan akalbudi.
Dengan kata lain, hikmat Allah bekerja dalam diri manusia agar mampu memenuhi panggilannya selaku ciptaan Allah yang mulia. Hikmat itu pulalah yang memampukan manusia untuk memandang hidupnya melalui sudut pandang Sang Pencipta. Itu hanya mungkin terjadi kala manusia bersekutu dengan Allah dan tunduk pada kehendak Allah.
Bapa Gereja Agustinus berkata, ”Hati kami senantiasa gelisah sebelum mendapatkan ketenangan di dalam-Mu.” Manusia diciptakan Allah untuk bersekutu dengan-Nya. Persekutuan dengan Allah merupakan kodrat penciptaan. Manusia adalah makhluk rohani. Kerohanian merupakan hal lumrah dan manusiawi. Yang tak lumrah: kala manusia menolaknya.
Manusia yang Belajar
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Artinya dalam diri manusia sendiri terdapat potensi untuk mencipta. Mencipta apa? Tentunya bukan langit dan bumi, tetapi menjadikan dunia ini layak ditempati. Pada kenyataannya, ciptaan yang sungguh amat baik—dalam pandangan Allah—karena Allah telah menjadi makin buruk.
Manusia dipanggil Allah untuk memelihara ciptaan yang sungguh amat baik itu. Manusia tak boleh menjadi serigala terhadap sesamanya atau ciptaan Allah lainnya. Orang Jawa punya istilah memayu ayuning buwana ’menghiasi dunia’.
Karena itulah, setelah perintah baptisan ada perintah lain, yaitu ”ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” Inilah yang tidak boleh dilupakan gereja. Ini persoalan klasik gereja, tak sedikit umat yang merasa sudah cukup dengan sidi atau baptis dewasa. Mereka tidak merasa perlu belajar lagi.
Pengajaran menjadi penting karena tidak ada orang yang terlalu tua untuk belajar. Kata kunci kekristenan ialah pertumbuhan. Kita mengenal istilah ”anak-anak Allah”. Dari bayi hingga adiyuswa, dipanggil dengan istilah sama, ”anak-anak Allah”. Tidak ada seorang pun, meski cukup lama dan berpengalaman sebagai Kristen, akan mendapat sebutan ”bapak atau ibu Allah”. Tidak, semua orang percaya dipanggil dengan istilah yang sama: ”anak-anak Allah”. Artinya, semua orang masih perlu bertumbuh. Perlu belajar. Belajar tidak mengenal kata berakhir. Gereja sesungguhnya harus menjadi gereja yang belajar.
Apa yang diajarkan? Melakukan segala yang Yesus perintahkan. Gereja tidak diminta untuk mengajarkan teori, tetapi gereja diminta untuk mengajarkan praktik. Out put-nya ialah warga jemaat yang lebih suka bertindak ketimbang berteori.
Berkait dengan pembelajaran ini, Paulus menegaskan: ”usahakanlah dirimu supaya sempurna.”(2Kor. 13:11). Bagaimana caranya? Ya belajar! Belajar menjadi sempurna seperti Kristus. Dan salah satu praktik untuk menjadi sempurna adalah memberikan salam seorang kepada yang lain.
Memberikan salam di sini bukanlah sekadar berkata, ”Syalom!” Bukan. Bukan itu. Memberikan salam berarti memberikan damai sejahtera. Pertanyaannya adalah apakah ketika memberikan salam, kita sungguh-sungguh ingin orang tersebut memang merasakan damai sejahtera yang dari Allah. Jika belum, maukah kita memberikan damai sejahtera Allah itu? Dengan pemahaman kayak begini, maka salam kita bukanlah sekadar basa-basi. Sehingga jika kita tidak ingin orang lain menerima damai sejahtera Allah, ya jangan memberikan salam.
Sejatinya itulah panggilan kita, memberikan damai sejahtera Allah kepada sesama kita. Mengapa? Karena kita telah memilikinya. Perhatikan kalimat terakhir Paulus kepada jemaat di Korintus: ”Anugerah Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2Kor. 13:13).
Perhatikan Allah Tritunggal menyertai kita! Lalu apa yang harus kita lakukan! Marilah kita menolong orang lain juga untuk merasakan penyertaan Allah ini. Agar semakin banyak orang yang pada akhirnya boleh berkata, ”Terpujilah Allah—Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Amin.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa