Tulah Kesepuluh Diberitahukan

Sabda-Mu Abadi | 18 Juni 2024 | Kel. 11:4-10
”Beginilah firman TUHAN: Pada waktu tengah malam Aku akan berjalan di antara orang Mesir. Setiap anak sulung di tanah Mesir akan mati, mulai dari anak sulung Firaun yang duduk di takhtanya sampai anak sulung budak perempuan yang menghadap batu kilangan, juga setiap anak sulung hewan. Teriakan yang keras akan terdengar di seluruh tanah Mesir, seperti yang belum pernah terjadi dan yang tidak akan terjadi lagi.”
Demikianlah kata-kata Musa kepada Firaun. Inilah tulah terakhir dari sepuluh tulah yang dijatuhkan Allah kepada bangsa Mesir. Tulah yang begitu mengerikan, juga selektif: kematian anak sulung manusia dan hewan.
Mengapa anak sulung? Beberapa alasan bisa disebutkan di sini. Pertama, anak sulung adalah simbol kesinambungan sebuah keluarga. Lazimnya setiap keluarga pasti mengharapkan keturunan. Dan anak sulung menjadi tanda regenerasi telah terjadi.
Kedua, pada pundak anak sulung sering disematkan tanggung jawab kepemimpinan keluarga selanjutnya. Bisa dikatakan ia juga adalah wakil orang tua yang akan memimpin adik-adiknya. Sehingga kematian anak sulung bisa memengaruhi pola kepemimpinan keluarga selanjutnya.
Ketiga, anak sulung sering kali menjadi tempat harapan—juga kerinduan—orang tua diletakkan. Sehingga anak sulung acap menjadi anak kesayangan. Sehingga kematian anak sulung sering kali menjadi pukulan sebuah keluarga.
Meskipun demikian, Firaun tetap mengeraskan hatinya. Penulis Kitab Keluaran mencatat: ”Musa dan Harun telah melakukan segala mukjizat ini di depan Firaun. Tetapi TUHAN mengeraskan hati Firaun, sehingga ia tidak melepaskan orang Israel dari negerinya” (Kel. 11:10). Frasa ”TUHAN mengeraskan hati Firaun” bisa diartikan bahwa Allah tidak mau lagi melembutkan hati Firaun karena hatinya memang sudah keburu keras. Dengan kata lain, Allah membiarkannya. Dan karena itulah, tulah kesepuluh pun terjadi.
Apa yang bisa dipelajari? Berkait dengan pemberitahuan tulah kesepuluh ini, penting bagi para orang tua untuk menolong anak-anak mereka mendengarkan suara Allah dan menaati-Nya. Meski berupa teguran, mereka perlu, bahkan wajib, mendengarkannya. Teguran menandakan bahwa mereka masih disayang Allah. Dan setelah itu mereka harus berubah. Tak ada gunanya mengeraskan hati. Itu hanya akan membuat mereka rugi sendiri.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Klik tautan berikut ini untuk dapat mendengarkan versi siniar:
Foto: Unsplash/Zach Camp