Yitro dan Musa

Published by Admin on

Sabda-Mu Abadi | 3 Juli 2024 | Kel. 18:1-27

Perjumpaan Musa dan Yitro merupakan kisah baik mengenai ciri pemimpin berkualitas.

Pertama, terbuka. Seorang pemimpin terbuka terhadap setiap usul, saran, kritik, bahkan celaan pihak lain. Dalam kisah ini, Musa tidak serta-merta menolak usul Yitro. Namun, ia mendengarkan apa yang hendak disampaikan mertuanya. Agaknya, sikap keterbukaan menyiratkan kesediaan mendengarkan. Sekali lagi, tidak sekadar mendengar (sepintas lalu), tetapi mendengarkan. Mendengarkan mengandaikan keseriusan pihak yang mendengar.

Kedua, positif. Musa tidak memandang negatif mertuanya. Ia bersikap positif terhadap pemikiran Yitro. Agaknya, Musa menyadari, setiap orang punya pengalaman (history). Dan pengalaman yang bersifat pribadi—pasti unik—harus dihargai. Pengalaman berbeda akan menghasilkan pendapat dan keyakinan berbeda. Dengan kata lain, sikap positif akan membuat kita memahami bahwa setiap orang, berdasarkan pengalaman hidupnya, akan mempunyai pendapat berbeda mengenai hal yang sama. Atau, bisa saja pendapatnya sama, tetapi dengan alasan berbeda. Perbedaan alasan akan memperkuat pendapat tersebut.

Ketiga, tulus. Tulus berarti memandang orang lain tanpa prasangka. Musa meyakini bahwa Yitro tidak mungkin akan berbuat yang tidak-tidak terhadap dirinya. Musa tidak berasumsi Yitro akan mengambil keuntungan dari usul tersebut. Musa memandang Yitro dengan pikiran jernih dan hati bersih. Musa yakin usul Yitro itu memang untuk kebaikan dirinya dan bangsa Israel.

Keempat, percaya. Tindakan Musa sewaktu memilih pemimpin-pemimpin merupakan sebuah tindakan yang didasari kepercayaan. Ia percaya bahwa orang-orang yang diangkatnya dapat mengerjakan tugas mereka dengan baik. Musa tidak hendak mengumpulkan kekuasaan, tetapi membagi-bagikan tanggung jawab dan wewenang. Ia juga tidak mau membuat bangsa Israel tergantung pada dirinya seorang. Bagaimanapun, kapasitas Musa ada batasnya.

Tujuannya dari semuanya ini jelas: bangsa Israel puas terlayani, Musa tidak terlalu lelah, dan banyak orang terlibat dan belajar menjadi pemimpin. Yang penting, happylah!

Yang pasti, dari kisah ini tampak jelas betapa hubungan antara menantu dan mertua bisa akur. Tak terlalu mudah, yang penting ada rasa saling menghargai dalam diri masing-masing pihak. Ini jugalah yang penting dikembangkan dalam kehidupan berkeluarga.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Klik tautan berikut ini untuk mendengarkan versi siniar:

Foto: Unsplash/Dias