Dalam Keheningan, Berjumpa Sabda yang Menjadi Daging
Bacaan dari Yohanes 1:14 menggema dalam ibadah Natal 2023: ”Firman itu telah menjadi manusia, dan tinggal di antara kita.” Atau sering juga kita dengar ”Sabda itu menjadi daging dan tinggal di antara kita.”
Itulah inti, pusat, awal dan akhir sejarah menurut Injil Yohanes. Allah yang abadi, Pencipta langit dan bumi, menjadi seperti kita, manusia yang lemah dan fana. Ia menjadi bayi yang membutuhkan ibu, dikandung dalam rahimnya, diberi makan oleh susunya, membutuhkan kasihnya dan kasih serta kehadiran Yusuf agar dapat hidup dan berkembang sebagai manusia.
”Ia diam di antara kita” dapat juga diartikan ”Ia mendirikan kemah-Nya di antara kita”. Ia menjadi Peziarah dan Saudara, berjalan melewati padang gurun bersama kita. Ia menjadi bagian dari sejarah, sambil menunjukkan jalan menuju Allah dan damai universal.
”Firman itu menjadi manusia.” Firman Allah yang sejati mewujud dalam diri manusia Yesus. Firman Allah yang sejati itu tidak mewujud dalam kitab suci, khotbah, renungan atau kesaksian seseorang. Tanpa berhubungan dengan Yesus, orang hanya sampai pada pengertian tentang firman Allah, tetapi belum merasakan hakikat Firman Allah. Sama seperti orang yang mendengar cerita atau diperlihatkan makanan atau buah-buahan yang enak, tidak akan merasakan nikmatnya makanan atau buah-buahan itu jika belum mengunyahnya sendiri. Hanya dengan berhubungan mendalam dengan Yesus, roh kita, roh manusia, dapat berhubungan dengan Sang Roh, Roh Yesus. Dengan demikian kita dapat merasakan hakikat Firman Allah yang sejati dan beroleh damai-Nya.
Pertanyaan mendasar yang pertama kali diucapkan Yesus—Sabda yang menjadi daging—menurut Injil Yohanes adalah ”Apakah yang kamu cari?” Dua orang murid Yohanes pembaptis yang ditanya tampaknya tidak tahu secara jelas apa yang mereka cari atau harapkan. Keduanya bertanya kepada Yesus: ”Rabi (artinya: Guru), di manakah Engkau tinggal?” (Yoh. 1:38). Mereka tidak mencari pendapat atau teori. Mereka ingin masuk ke dalam hubungan pribadi dengan Yesus, untuk berada bersama Dia, untuk tinggal bersama-Nya. Mereka ingin membiarkan diri mereka disentuh oleh hidup-Nya dan oleh seluruh pribadi dan semua yang ada pada-Nya. Mereka ingin menjadi murid-murid-Nya, atau pengikut-Nya.
Yesus berkata, ”Marilah dan kamu akan melihatnya” (Yoh. 1:39). Kata ”marilah” yang juga berarti “datanglah” keluar dari mulut Yesus, dan mengalir sepanjang seluruh Injil Yohanes. Yesus tidak mendesakkan atau memaksakan sesuatu kepada siapa pun. Dengan lembut, Ia mengundang masing-masing dari antara kita untuk melangkah maju. Ia berkata, ”Marilah”, ”Datanglah dan lihatlah”, datang dan menghidupi pengalaman kasih, penyembuhan, dan kemerdekaan batin yang baru. Kedua orang itu mengikut Yesus, melihat di mana Ia tinggal dan memilih untuk tinggal bersama Dia.
Semakin menyelami Injil Yohanes, kita akan menemukan secara lebih jelas bahwa tempat tinggal Yesus yang sejati adalah Bapa. Ia tinggal di hadirat Bapa. Inti pesan Injil Yohanes termuat dalam kata-kata ini: ”Yesus dan Bapa adalah satu”. Orang-orang yang melihat , mendengar, dan menyentuh Yesus; melihat, mendengar, dan menyentuh Bapa! Yesus adalah Firman yang menjadi manusia. Ia adalah Allah. Tidak ada jalan menuju Allah selain melalui sabda Allah, yang adalah Allah.
Jalan untuk berhubungan mendalam dengan Yesus, Sabda yang menjadi daging, adalah keheningan. Keheningan (solitude) berasal dari kata hening (solus), yang berarti seorang diri. Dalam hidupnya, manusia mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikan, dan banyak dari kita yang dikendalikan oleh tugas-tugas itu. Keheningan mencari celah-celah dari kesibukan manusia dan membantu untuk berhenti sejenak serta bertanya, ”Untuk apa semua itu?” Artinya, kita perlu menyisihkan waktu sedikit bagi Tuhan untuk mendengarkan suara-Nya yang berkata, ”Engkau itu kepunyaan-Ku dan Aku kepunyaanmu, Aku mengasihi engkau. Tak perlu engkau mencari bukti. Aku berkenan kepadamu.”
Salah satu cara untuk melatih keheningan ialah berdoa sederhana, misalnya, ”Tuhan Yesus Kristus, kasihanilah kami.” Dengan duduk, menyalakan lilin, memandang wajah Yesus, menghadap Kitab Suci, atau terserah menurut kebiasaan kita masing-masing. Tinggalah di sana dan ulangilah doa itu selama lima menit. Biarkan setiap kata mengendap dari pikiran dan masuk ke dalam hati kita dan biarlah kata-kata dari doa itu mewarnai hidup kita sepanjang hari. Kita juga dapat mengambil kalimat sederhana seperti, ”Tuhanlah Gembalaku.” Dengan tenang ulangilah kata-kata itu sehingga secara berangsur-angsur kata-kata itu bukan lagi sebagai pernyatan intelektual, melainkan menjadi suatu kebenaran yang tertanam dalam hati kita.
Atau sebelum kita pergi bekerja, gunakan beberapa saat untuk membaca teks Kitab Suci. Bacalah teks untuk hari itu sehingga kata-kata itu tinggal dalam hati kita selama dalam perjalanan, di kantor, dan sepanjang hari. Cara ini serupa lukisan yang tetap berada di relung-relung hati kita yang mengingatkan kita, ”Tuhan adalah Gembalaku” atau ”Tuhan Gunung Batuku” atau ”Tuhan Kekasih jiwaku”. Kata-kata ini bukan sekadar hasil pikiran, melainkan juga menciptakan ruang batin dalam hati.
Orang yang mengalami keheningan akan mendapatkan bahwa mereka dapat membedakan apa yang harus mereka lakukan. Inilah cara untuk memisah-misahkan yang berguna untuk dapat mengisi pikiran kita. Keheningan adalah jalan untuk sedikit mengendalikan diri dari kehidupan batin kita. Ini tidak mudah. Suatu kali kita mulai menggunakan waktu seorang diri, kita akan sadar betapa kacau pikiran kita. Kita mulai berpikir tentang ribuan hal—apa yang harus kita buat, siapa yang membuat kita gila. Jika pikiran semacam itu muncul hendaknya dengan perasaan yang baik kita kembali ke pusat hati kita. Jika secara berangsur-angsur, umpamanya kita menemukan bahwa Tuhan adalah Gembalaku, kita bisa menghindarkan diri dari beberapa hal dan semakin berada di dalam kedamaian.
Dalam keheningan, siapapun juga boleh memohon rahmat kedamaian berjumpa Sabda yang menjadi daging dan tinggal di antara kita, tanpa perantaraan pihak lain. Hal ini juga dikuatkan kesaksian Ibrani 8:11: ”Dan mereka tidak akan mengajar lagi sesama warganya, atau sesama saudaranya dengan mengatakan: Kenallah Tuhan! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku.”
Tyas Budi Legowo
Foto: Istimewa