Dari Keputusasaan ke Pengharapan dan Kegembiraan

Published by Admin on

Di salah satu kota terkenal di Jawa Tengah, ada satu sekolah Kristen yang bisa menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah Kristen lain yang sedang berjuang untuk tetap bisa bertahan.  Sekolah itu mulai dibuka pada 2006. Pertama kali didirikan membuka PG/TK. Setelah dari TK ada yang lulus, kemudian membuka SD. Setelah dari SD ada yang lulus kemudian membuka SMP. Saat ini keseluruhan jumlah muridnya lebih dari 300 orang.

Hingga sekarang sekolah itu belum memiliki lahan dan gedung sekolah sendiri, sehingga perlu sewa. Sudah empat kali harus pindah tempat. Saat ini menyewa di lahan dan bangunan milik sebuah yayasan pendidikan Kristen yang sudah lebih dahulu ada di kota itu. Mungkin karena lahan dan gedung sekolah belum punya sendiri, akreditasinya B.  Pada saat tidak sedikit sekolah Kristen maupun sekolah negeri di kota itu harus tutup, bagaimana sekolah Kristen yang satu ini justru bisa berkembang? Kalau dari sisi gaji atau kesejahteraan, para guru/karyawan di sekolah itu juga masih di bawah UMK.         

Pada pertengahan Januari 2024, bersama semua guru/karyawan TK, SD, SMP satu yayasan, kami mengadakan perkunjungan satu hari di sekolah itu. Kegiatan pertama kali para guru/karyawannya setelah menyambut kedatangan para siswa adalah masuk kapel. Mereka mengadakan persekutuan doa. Suasananya akrab dan gembira, mirip persekutuan doa yang dilakukan oleh para pemuda di gereja. Saat itu kegiatan kapel dipimpin seorang guru yang isterinya sedang sakit. Setelah 30 menit di kapel, para guru mulai masuk kelas. Di kelas para siswa sudah siap melakukan persekutuan doa yang mereka pimpin sendiri.

Saat kami berkunjung itu hari Jumat, di mana para siswa seminggu sekali mengadakan kegiatan kapel bersama didampingi para guru. Terlihat bahwa setiap siswa membawa Alkitab cetak, bukan handpone yang ada aplikasi Alkitab.  

Pengenalan akan Tuhan begitu ditekankan dalam penyelenggaraan sekolah Kristen itu. Dengan tegas pemimpin sekolah Kristen itu menyatakan bahwa mereka ”menjual” kekristenan. Bagi mereka yang paling ditekankan bukan prestasi akademik maupun akreditasi, tetapi bisa dipercaya oleh gereja dan masyarakat.

Para siswa dan orang tua siswa menjadi ujung tombak promosi sekolah. Bahwa bersekolah di tempat itu menggembirakan, biaya sekolah terjangkau dan transparan, hubungan para guru dan orang tua begitu dekat. Yang paling mendasar adalah para guru bisa dipercaya dalam mendampingi para siswa, mereka bisa melihat dan merasakan para guru sebagai pribadi yang bergantung kepada Tuhan.

Pentingnya kegembiraan berdasar ketergantungan pada Tuhan itu mestinya bisa juga diterapkan di sekolah-sekolah Kristen yayasan kami. Para guru dan pengurus yayasan melihat contoh konkret beserta dampak dari kegiatan kapel bagi para guru dan karyawan. Yakni, memampukan untuk   memilih bergembira tidak bergantung kondisi.  Sekarang semua sekolah yang ikut dalam kunjungan itu juga mengadakan kapel untuk guru/karyawan tiap pagi.

Namun, untuk terjadinya perubahan karakter gembira seperti yang diharapkan tidak bisa secepat membalik tangan. Hal itu tampak dari sebuah kiriman berbagi getaran dari membaca Alkitab yang saya terima dari seorang rekan guru. Gereja di tempat saya melayani menekankan pentingnya pemuridan dengan cara setiap pagi awali hari dengan berdoa (hening) pribadi, membaca Alkitab, mengasah kepekaan merasakan getaran panggilan Tuhan dari bacaan Alkitab hari itu. Kemudian  menuliskan janji diri di WA dan mengirimkannya pada beberapa saudara.  Biasanya panjang tulisan berbagi getaran itu satu alenia.  Setelah hampir dua minggu di sekolahnya ada kegiatan chapel, pagi itu saya menerima berbagi getaran berikut ini.

Ayat yang menggetarkannya dari Matius 12:12a, ”Bukankah manusia jauh lebih berharga daripada domba?” Manusia lebih berharga dari pada ciptaan lainnya, Allah mengasihi manusia. Maka, sebagai yang dikasihi-Nya, saya juga harus mewartakannya kepada sesama…. Terasa sulit di tengah-tengah situasi saat ini, di mana setiap orang merasa yang benar… dan saya merasa tidak mampu menjadi pembawa damai…. Saat ini di sekolah saya seperti ada dua kubu yang semakin lebar jurangnya, saya tidak mampu menjadi penengah… Tuhan ampunilah saya.”

Terlihat ada keputusasaan yang dirasakan oleh rekan guru itu. Apa itu keputusaasaan? Seorang pembimbing rohani berkata, ”Keputusasaan muncul karena kegagalan untuk mendapatkan perasaan kerasan tinggal di rumah (termasuk di sekolah). Semakin kuat usaha untuk menciptakan suasana kerasan itu, semakin berkeping-keping harapan kita. Benturan-benturan yang mengakibatkan perpecahan dan kesepian yang erat tetap terjadi meskipun kita sudah mencoba memparbaikinya dengan sekuat tenaga.”

Tulisan ini didasarkan keyakinan adanya panggilan bergerak dari keputusasaan ke pengharapan,  yang buahnya adalah kegembiraan, kedamaian, dan mukjizat komunitas. Perpindahan itu perlu disertai doa dengan iman yang kuat, bukan doa dengan iman yang kecil. Kita berdoa dengan iman yang kecil ketika kita berpegang erat pada hal-hal yang konkret sesaat agar dalam kadar tertentu kita merasa aman. Doa orang yang imannya kecil adalah doa tanpa pengharapan, doanya tidak menyuarakan keputusasaan, karena putus asa hanya mungkin bagi orang yang tahu arti pengharapan.

Meskipun kita sering berputus asa, Yesus selalu berbicara tentang pengharapan. Pengharapan ini berbeda dengan optimisme. Yesus bukan seorang yang optimis. Dia juga bukan seorang yang pesimis. Pengharapan yang Dia berikan dibangun diatas janji-Nya bahwa apa pun yang terjadi Tuhan akan tinggal bersama kita sepanjang masa, dan di mana pun juga Tuhan kita ialah Tuhan kehidupan.   

Jalan yang ditawarkan Tuhan Yesus untuk kita bisa menghadapai keputusasaan adalah jalan turun. Jalan itu sudah ditempuh-Nya. Ini adalah jalan menuju orang-orang miskin, tersisih, menderita; jalan menuju semua orang yang mendambakan belarasa. Apa yang dapat ditawarkan? Bukan keberhasilan, bukan popularitas, bukan kekuasaan, melainkan kegembiraan dan kedamaian sebagai anak-anak Allah.

Kegembiraan adalah hakiki  hidup rohani. Apa pun yang kita pikirkan dan katakan mengenai Allah, kalau kita bukan orang-orang yang gembira, pikiran dan kata-kata kita tidak dapat menjadi subur dan menghasilkan buah. Yesus menyatakan kasih Allah kepada kita agar kegembiraan-Nya menjadi kegembiraan kita dan agar kegembiraan kita menjadi sempurna. Gembira adalah mengalami dan menyadari bahwa kita dikasihi tanpa syarat dan bahwa tidak ada sesuatu pun—sakit, kegagalan, kesedihan, penindasan, perang atau bahkan kematian—yang dapat menghilangkan kasih itu.

Kegembiraan tidak sama dengan rasa senang. Kita dapat merasa tidak senang akan berbagai macam hal, tetapi kegembiraan dapat tetap tersimpan dalam hati kita, karena kegembiraan itu berasal dari pengalaman dan kesadaran bahwa Allah mengasihi kita. Kita cenderung berpikir, kalau kita sedih kita tidak dapat gembira. Namun, dalam diri orang yang hidupnya terpusat pada Allah, kesedihan dan  kegembiraan dapat ada bersama-sama. Kegembiraan adalah akibat pilihan kita.

Sering kali kita membayangkan bahwa orang yang satu lebih beruntung daripada yang lain dan bahwa kegembiraan atau kesedihannya tergantung pada situasi hidup mereka. Mereka sendiri tidak dapat menentukan situasi itu. Namun, kita sungguh-sungguh mempunyai pilihan, bukan pertama-tama menyangkut situasi hidup kita, tetapi dalam hal bersikap terhadap situasi itu.

Bisa terjadi dua orang mengajar di sekolah Kristen yang sama dengan penghasilan mungkin masih di bawah UMK. Bagi yang satu, pengalaman itu dapat menjadi sumber  kemarahan; bagi yang lain pengalaman itu menjadi sumber rasa syukur atau kegembiraan. Dalam pilihan inilah tampak kemerdekaan kita yang sejati. Akhirnya, kemerdekaan itu adalah kemerdekaan untuk mengasihi.

Ada baiknya kita bertanya kepada diri sendiri, bagaimana kita mengembangkan kemampuan kita untuk memilih kegembiraan? Mungkin kita dapat meluangkan beberapa waktu pada akhir setiap hari dan mengenang hari itu—entah apapun yang terjadi—sebagai hari yang harus disyukuri. Dengan demikian, kita mengembangkan kemampuan hati kita untuk memilih kegembiraan.

Kalau hati kita semakin bergembira, tanpa usaha yang khusus, kita akan menjadi sumber kegembiraan bagi orang lain. Sama seperti kesedihan melahirkan kesedihan, demikian juga kegembiraan akan melahirkan kegembiraan.       

Bisa dikatakan kegembiraan memiliki saudara dekat, namanya kedamaian. Damai yang ingin kita bawakan bukanlah pekerjaan tangan kita atau hasil gerakan di mana kita bergabung, melainkan anugerah pemberian Kristus. Dengan menyediakan waktu hening untuk Tuhan, kita melakukan kegiatan dengan iman untuk membawa damai. Masuk dalam doa hening khusus merupakan protes menentang dunia manipulasi, kompetisi, pembelaan diri, kemarahan, permusuhan, saling menyerang.

Dengan demikian kita menjadi saksi kasih Allah yang membimbing dan menyembuhkan kita. Kita tidak melakukan karya membawa damai di bawah tekanan orang-orang yang hidupnya sebagai korban serangkaian keadaan darurat, sekaligus merasa dirinya yang benar.

Kegembiraan dan kedamaian itu menuntun kita menemukan mukjizat komunitas. ”Rumah” di mana kita berada, baik itu keluarga, gereja, sekolah Kristen dipanggil menjadi komunitas. Tetapi komunitas bukanlah romantisme, belum tentu mudah, rentan terjadi gesekan. Kita dapat hidup dalam sebuah komunitas jika dengan cara yang mendalam hati kita berakar pada Allah. Orang-orang yang dengannya terjadi gesekan menjadi memurnikan hati dan memperdalam kasih kita.  Komunitas itu penting bagi kita untuk mendengar suara kasih Allah. Mendengarkannya bersama. Kita dapat menciptakan komunitas ketika kita benar-benar merasa dikasihi. Tugas kita pertama-tama adalah peka mendengar suara lembut yang berkata, ”Engkau dikasihi-Nya”.

Ada lagi nasihat dari pembimbing rohani: ”Berhentilah mencari damai, berikanlah diri Anda di mana pun Anda berada. Berhentilah melihat diri sendiri, sebaliknya perhatikan kebutuhan saudara-saudari Anda. Dekatilah orang-orang yang telah Tuhan berikan kepada Anda hari ini dan bekerjalah sesuai dengan situasi yang ada. Berusahalah bagaimana Anda dapat lebih baik lagi mencintai saudara-saudari Anda, maka Anda akan menemukan kedamaian…. Segala sesuatu dengan sendirinya akan teratasi melalui cinta. Berhentilah membuang-buang waktu mengejar-ngejar komunitas yang sempurna. Hayatilah secara penuh hidup Anda dalam komunitas hari ini. Berhentilah melihat kekurangan-kekurangan dan berterima kasihlah pada Tuhan bahwa ada beberapa kekurangan itu. Jangan hanya melihat kekurangan-kekurangan Anda sendiri dan ketahuilah bahwa Anda diampuni! Dan pada akhirnya Anda akan dapat mengampuni yang lain, dan hari ini memasuki pertobatan cinta, dan ingatlah selalu untuk berdoa.”

Karena luka dan dosa, hati penuh dengan kegelapan seperti kuburan dan keinginan untuk balas dendam. Namun, hati juga adalah tempat di mana Allah tinggal; kediaman Roh Kudus. Kita harus membiarkan Allah tinggal di sana, memurnikan dan menyinarinya. Ketika ”batu besar” itu lambat laun disingkirkan dari kuburan hati kita dan kotorannya kelihatan, kita menemukan bahwa kita dicintai dan dimaafkan; sehingga di bawah kekuasaan cinta dan Roh Kudus, kubur menjadi rahim. Suatu mukjizat terjadi. Hati kita dimurnikan. Dengan rahmat Allah kita menemukan hidup baru, lahir kembali dalam Roh Kudus.

Dengan demikian, seperti yang saya juga pernah baca dalam getaran yang dibagikan rekan guru itu, kita akan menjadi lebih sederhana. Sederhana dalam arti menjadi diri sendiri, mengetahui bahwa kita dicintai.

Tyas Budi Legowo

Foto: Ramadhan Notonegoro dari Pixabay