Hati yang Paham Menimbang Perkara

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Akulah Roti Kehidupan.” Inilah pernyataan Yesus di hadapan orang banyak di Kapernaum. Ia mengibaratkan diri-Nya dengan roti—sesuatu yang sederhana dan murah.

Dan murah tidak berarti murahan. Murah karena tak terbayangkan jika harga roti di Palestina masa itu—atau harga beras di Indonesia masa kini—malah tak terjangkau. Harganya mesti murah karena merupakan bahan pokok.

Kalau di Indonesia masa kini, beras merupakan urutan pertama sembako (sembilan bahan pokok). Dari beras manusia memperoleh karbohidrat. Tanpa itu, manusia tak punya energi.

Sekali lagi, murah tak berarti murahan. Tentu tak ada di antara kita yang sengaja membuang beras! Apa pun jenis berasnya, kita merasa kurang pantas membuang beras. Dalam budaya suku tertentu, Batak misalnya, saat upacara adat para ibu biasanya membawa beras. Beras menduduki tempat tertinggi dalam budaya manusia. Mengapa? Sekali lagi, tanpa beras kita tidak mungkin berbuat apa-apa.

Sumber Kehidupan

Ungkapan ”Roti Kehidupan” hendak memperlihatkan bahwa Yesus Orang Nazaret adalah sumber kehidupan. Yesus juga bukan sembarang roti. Ia adalah roti yang tak hanya menguatkan jasmani, melainkan rohani manusia.

Dengan tegas Yesus berkata, ”Akulah roti yang turun dari surga—roti yang memberi hidup. Orang yang makan roti ini akan hidup selamanya. Roti yang akan Kuberikan untuk kehidupan manusia di dunia adalah daging-Ku”  (Yoh. 6:51, BIMK). Dan setiap orang yang mendengar perkataan itu ditantang untuk menjalani hidup sebagai murid Kristus.

Awal kemuridan adalah persekutuan dengan Sang Guru. Memakan Tubuh dan Darah Kristus merupakan persekutuan sejati. Itu berarti, jika kita memakan tubuh dan darah Kristus, sikap dan tindakan kita seharusnya mencerminkan semuanya itu. Dengan kata lain, hidup sebagaimana Kristus hidup.

Nasihat Paulus

Gampang dinalar, jika dalam surat kepada jemaat di Efesus Paulus menasihati: ”Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang bijak, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat” (Ef. 5:15-16).

Saudara dan saya tak lagi boleh hidup semau-maunya karena hidup kita—yang telah ditebus Yesus Orang Nazaret di atas kayu salib—terlalu berharga untuk diisi dengan sesuatu yang sembrono. Paulus dengan tegas mengajak umat di Efesus untuk memperhatikan diri mereka sendiri dengan saksama.

Menarik disimak, Paulus tidak mengajak umat untuk memperhatikan orang lain, tetapi memperhatikan diri mereka sendiri. Persoalannya sering di sini: kita mudah menilai orang lain dan lupa menilai diri kita sendiri.

Paulus mengajak umat untuk menggunakan waktu yang ada. Berkait waktu, kita semua pasti setuju, kita hanya bisa melakukan sesuatu di dalam waktu. Kita tidak mungkin menabung waktu untuk dipakai nanti. Tidak. Kita tidak mungkin mengantongi waktu. Kita hanya mungkin mengisinya.

Dan menggunakan waktu pun bukan perkara gampang. Kadang kita sungguh-sungguh tidak tahu apa yang penting dalam hidup. Berkait waktu memang ada sesuatu yang penting dan mendesak, ada yang penting tetapi tidak mendesak, ada yang tidak penting tetapi mendesak, dan ada yang tidak penting dan tidak mendesak. Nah, bagaimanakah kita menentukan prioritas dalam hidup kita?

Belajar dari Salomo

Di titik ini kita butuh hikmat. Bicara soal hikmat, mari kita belajar dari Salomo. Ketika ada kesempatan untuk meminta apa pun dari Allah, menarik untuk disimak bahwa Salomo tidak meminta hikmat. Hikmat memang bukan sesuatu yang sudah jadi dari sananya. Tidak. Salomo meminta hati yang paham menimbang perkara.

Yang diminta Salomo bukan hikmat, tetapi hati yang berhikmat. Hati yang mampu menimbang-nimbang perkara. Fokus Salomo adalah hati yang mampu menimbang-nimbang: mana yang benar, baik, dan tepat.

Tak gampang memang. Itu hanya mungkin terjadi kala kita senantiasa bersekutu dengan Allah. Bersekutu dengan Allah berarti manunggal! Dengan kata lain, orang lain bisa merasakan kehadiran Allah melalui kita.

Orang-orang di Kapernaum tak begitu paham dengan ungkapan Yesus tadi. Mereka mengartikan perkataan Yesus secara harfiah. Dan akhirnya mereka menolak Yesus.

Mereka menolak Yesus karena mereka lebih mengutamakan akal mereka. Ketika bagi mereka tak masuk akal, mereka tidak mau bertanya lebih jauh kepada Yesus. Mereka terlalu sombong untuk bertanya. Mereka lebih suka menafsir perkataan Yesus itu dan mengambil kesimpulan sendiri. Padahal, jika mereka bertanya kepada Yesus, pastilah mereka akan mendapatkan jawaban yang andal. Jawaban dari tangan pertama.

Sayangnya, mereka tak mau bertanya. Mereka tak bersikap seperti Salomo yang meminta hati yang mampu menimbang-nimbang perkara. Mereka juga tak mampu bersikap sebagaimana Salomo bahwa Allah pastilah lebih bijaksana ketimbang dirinya. Mereka lebih suka mengutamakan akalnya sendiri.

Sayang memang!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa