Hidup dalam Kebenaran Allah

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Bagaimanakah cara Anda membaca sebuah buku baru? Masing-masing orang pasti punya kebiasaan berbeda. Namun, usul saya, mulailah dari prakata!

Prakata, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah keterangan yang ditulis oleh penulis sebagai pengantar suatu karya tulis. Prakata biasanya merupakan alasan keberadaan buku tersebut, yang membuat kita mempunyai alasan kuat untuk membaca buku tersebut. Jadi, jangan langsung membaca bab pertama. Mulailah dengan prakata.

Sejatinya, itu jugalah yang mesti kita lakukan sewaktu membaca Sepuluh Firman. Agak banyak orang yang tidak terlalu memperhatikan prakatanya, dan langsung membaca sekumpulan kata ”jangan”. Jika demikian, kemungkinan besar kita sudah tertekan dahulu dan akhirnya terpaksa menaatinya.

Oleh karena itu, mari kita memulainya dengan baik-baik memperhatikan prakatanya, yaitu: ”Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.”

Kisah Israel

Ini menjadi penting karena dalam prakata terlihat hubungan antara Allah dan Israel. Israel adalah bangsa yang dimerdekakan oleh Allah dari Mesir untuk menjadi umat Allah. Karena mereka adalah umat Allah, Sepuluh Firman mesti dilaksanakan. Dengan kata lain, kalau Israel menerima penyelamatan Allah, maka Allah, Sang Pembebas, memiliki serangkaian aturan.

Semena-menakah aturan ini? Seharusnya kita berani dan cepat menjawab: tidak! Bagaimanapun, ini merupakan undangan! Israel masih boleh memilih apakah mereka masih mau menjadi bangsa merdeka dengan Allah sebagai tuan mereka atau sebagai bangsa budak dengan bangsa Mesir sebagai tuan mereka? Pilihan ada pada Israel.

Nah, ngomong-ngomong soal aturan, yakinlah bahwa hidup tanpa aturan bukanlah hidup yang nyaman dijalani. Kita pasti tidak akan suka melihat anak kita hidup semau-maunya di rumah. Misalnya, mereka dapat keluar masuk rumah jam berapa pun, tanpa menyebutkan alasannya. Di rumah, di jalan, di kantor, bahkan permainan sepakbola aja ada aturannya. Bayangkan jika dalam Ibadah Minggu pengkhotbah boleh datang semaunya!

Di sini konsep diri sebagai umat Allah sungguh signifikan. Dan Allah menawarkan sebuah konsep diri—umat Allah. Dan sebagai umat Allah, Israel diundang hidup sebagai umat Allah. Pemahaman sebagai umat Allah akan memampukan kita berkata sebagaimana Daud, ”Titah TUHAN itu benar, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya (Mzm. 19:9).

Kisah Para Penyewa

Konsep diri macam beginilah yang hilang dalam diri penyewa-penyewa kebun anggur dalam perumpamaan Yesus Orang Nazaret. Para penyewa itu pada dasarnya telah lupa diri. Meski berstatus penyewa, mereka tak mau membayar sewa, memberontak terhadap Sang Pemilik. Mereka tak menggubris kesabaran dari Sang Pemilik dengan membunuh utusan-utusan, bahkan anaknya. Dan karena itu, Sang Pemilik pun menghukumnya!

Mereka dihukum karena lupa diri. Bukankah mereka sejatinya cuma penyewa? Menyewa kebun anggur berarti mereka telah mendapatkan kesempatan hidup dari kebun anggur itu. Bukankah jika tidak diberikan kesempatan itu, mereka akan menjadi penganggur semuanya.

Akan tetapi, itulah masalahnya mereka tak puas menjadi penyewa, tetapi ingin menjadi pemilik. Dan itulah alasan utama mereka membunuh anak dari Sang Pemilik. Sekali lagi, agar mereka dapat merampas kebun anggur itu menjadi milik mereka sendiri!

Vonis dijatuhkan karena memang mereka telah membunuh banyak orang demi keinginannya naik pangkat dari penyewa menjadi pemilik. Mereka dihukum karena lupa diri. Mereka hidup dalam kebenaran mereka sendiri.

Kisah Paulus

Kisah para penyewa itu bertolak belakang dengan Paulus. Sebagai seorang Kristen Paulus menyatakan dalam suratnya: ”Tetapi, apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap kerugian karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena menaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena iman kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan iman” (Flp. 3:7-9).

Kesadaran diri Paulus inilah yang membuat dia hidup bukan dalam kebenarannya sendiri, tetapi dalam kebenaran Allah. Kalau para penyewa kebun anggur hidup dalam kebenaran sendiri, Paulus hidup dalam kebenaran Allah.

Kisah Keluarga

Nah, bagaimana dengan kita sekarang? Setiap keluarga Kristen bukan sekadar sebuah keluarga, tetapi keluarga keluarga yang diberkati Tuhan. Kok bisa? Karena dalam setiap perkawinan Kristen, sepasang suami istri memohon berkat Allah! Dan inilah modal terbesar setiap keluarga Kristen. Ya, berkat Allah! Dan karena itu setiap keluarga Kristen selayaknya hidup sebagai keluarga-keluarga yang telah diberkati!

Ketika dua orang mengikatkan diri sebagai suami dan istri, serentak dengan itu panggilan Allah atas orang yang hidup berkeluarga melekat dalam dirinya. Itu berarti setiap keluarga harus hidup dalam kesadaran diri sebagai hamba Allah! Dan berarti mau hidup dalam kebenaran Allah sendiri!

Persoalan keluarga sering berakar pada keinginan hidup berdasarkan kebenaran sendiri-sendiri—istri merasa benar, suami merasa benar, anak merasa benar, orang tua merasa benar! Hasilnya hanya keonaran karena masing-masing merasa benar! Pada titik ini kita perlu meneladan Paulus yang belajar hidup dalam kebenaran Tuhan! Berbeda pendapat itu wajar. Karena itu, setiap anggota keluarga perlu bertanya: Apa sebenarnya pendapat Allah? Setelah mendapatkan, ikutilah pendapat Allah!

Ingat bukan kebenaran kita masing-masing, tetapi kebenaran Allah! Itulah keluarga yang bertumbuh dalam kebiasaan positif! Caranya: Belajar mendengarkan suara Allah! Belajar hidup dalam kebenaran Allah. Sebab, Dia Tuhan.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: CNN Indonesia (Reuters/Brendan Mc. Dermld)