Ironi Epifani
Apakah Epifani itu?
Hari ini, 6 Januari, adalah Hari Raya Epifani. Epifani berarti penampakan diri, kedatangan, atau kelihatan. Atau penyataan kemuliaan Yesus. Hingga kini Gereja-gereja Timur atau Gereja Ortodoks Timur merayakan hari raya Epifani dengan meriah, bahkan lebih meriah ketibang Natal 25 Desember.
Jika Epifani di Gereja-gereja Timur mengkususkan diri pada pelayanan awal Yesus Kristus, maka Gereja-gereja Barat mengfokuskan pada Injil bagi segala bangsa melalui kisah orang majus. Dan kita bisa menyaksikan beberapa ironi epifani.
Ironi
Pertama, orang-orang Majus itu sesampai di Yerusalem terpaksa menelan rasa kecewa yang dalam. Dari pertanyaan mereka, jelaslah bahwa mereka mencari raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu. Dari pengamatan bintang di Timur itu mereka yakin bahwa telah lahir seorang raja Yahudi. Dan mereka ingin menyembah raja Yahudi itu.
Namun, apa mau dikata, setiba di Yerusalem, para penduduk Yerusalem malah terkejut mendengar pertanyaan itu. Bisa jadi, dalam benak para Majusi telah tergambar Yerusalem yang sedang berpesta pora menyambut seorang raja. Dan, tentunya mereka pun tidak salah tempat karena Yerusalem adalah ibu kota Israel. Boro-boro pesta, orang-orang di Yerusalem malah terkejut, tak sadar Mesias sudah datang.
Ironis memang, orang-orang non-Yahudi lebih tahu ketimbang penduduk Yerusalem. Dan lebih ironis lagi, maksud kedatangan majusi adalah menyembah Dia. Ada orang asing yang jauh-jauh datang untuk menyembah raja itu, tetapi orang Yahudi tak pernah mendengar kabar ada raja yang lahir bagi mereka.
Ironi kedua, Herodes dan para Imam kepala dan ahli Taurat tahu bahwa Mesias akan dilahirkan di Betlehem. Dan Betlehem bukanlah kota yang asing. Daud raja kedua Israel, berasal dari Betlehem. Kotanya jelas, Betlehem. Jaraknya pun jelas sekitar 5 kilometer. Namun, siapakah yang pergi kesana ? Bukan Herodes bukan pula ahli Taurat.
Aneh, mengherankan, bahkan menggelikan. Bangsa Israel selalu menunggu-nunggu kedatangan Mesias, tetapi mereka sendiri agaknya tidak percaya terhadap Kitab Suci mereka sendiri. Mereka sendiri tidak punya keinginan untuk membuktikan kebenaran dari nubuat Nabi Mikha.
Mungkin, memang disini masalahnya, Kitab Suci sering dipahami sebagai teks mati, yang tidak ada kaitannya dengan hidup dan kehidupan manusia. Atau Kitab Suci hanya dipahami sebagai pengetahuan belaka.
Mungkin, ini juga yang terjadi, pada Natal. Natal kita rayakan, meriah, namun apa artinya semua itu bagi kita? Bagi Herodes jelas Natal berarti ada seorang raja baru yang akan menggantikan kedudukannya sebagai penguasa, dan raja itu harus mati. Di sinilah beda orang Majus dengan Herodes dan ahli Taurat. Mereka bukan orang Yahudi, tetapi mereka percaya akan nubuat Mikha.
Mungkin disinilah bedanya seorang ilmuwan sejati dan orang-orang yang sok ilmuwan. Ilmuwan senantiasa bermain dengan data. Dan setiap data harus dibuktikan. Mau tahu adalah ciri seorang Ilmuwan. Dan mencoba membuktikan setiap hipotesis, itu juga ciri ilmuwan.
Ketika mereka beranjak pergi ke Betlehem, kepercayaan mereka tidak sia-sia. Bintang itu muncul kembali. Kemudian bintang itu merupakan bukti yang menguatkan kisah mengenai raja Yahudi yang baru dilahirkan itu.
Ironi ketiga, para Majusi itu sepertinya memang sudah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya. Sesampai di rumah itu mereka membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan, dan mur. Persembahan itu merupakan tanda takluk mereka kepada bayi yang baru lahir itu.
Mereka menyembah bayi itu. Ada tafsiran menarik dari Andar Ismail di sini: tidak ada percakapan antara orang Majus dengan Maria. Mungkin disebabkan karena kesulitan bahasa. Akan tetapi inilah kebenaran sejati, bahwa dihadapan Tuhan tidak ada yang dapat dilakukan manusia kecuali menyembah Dia.
Penulis Injil Matius mencatat ada dua hal sembah di sini. Bukan memberikan persembahan, melainkan mempersembahkan persembahan. Memberikan berarti kita berada pada posisi yang lebih tinggi. Memberikan berarti saya di atas. Sedangkan mempersembahkan berarti kita berada pada posisi yang lebih rendah. Telapak tangan menghadap keatas. Allah adalah pemilik alam semesta. Mempersembahkan berarti kita menyadari apa yang kita miliki berasal dari padanya semata.
Inilah ironi Epifani, orang Majus, bukan Yahudi, ternyata memahami dirinya sebagai hamba Allah. Dan itulah yang tidak dilakukan oleh penduduk Yerusalem, Herodes, dan para ahli Taurat. Di hadapan Allah pilihannya memang cuma dua: menyembah Allah atau menjadikan diri sendiri sebagai Allah. Menyembah Allah berarti dalam segala segi hidup kita bersikap dan berpikir, dan bertindak sebagai seorang hamba.
Dan karena itulah, ini yang keempat, dan pasti bukan ironi: ”Kemudian karena diperingatkan dalam mimpi, supaya jangan kembali kepada Herodes, pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain” (Mat. 2:12).
Tampaknya para majusi adalah orang-orang yang peka terhadap tanda-tanda. Mereka peka terhadap bintang-Nya. Bintang itu tidak sekadar bintang. Bintang itu adalah bintang-Nya. Mereka juga peka terhadap petunjuk Kitab Suci, meski itu bukan Kitab Suci mereka. Dan sekarang mereka peka akan mimpi mereka. Perjalanan dari Timur ke Betlehem bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan iman mereka. Sehingga, mereka sungguh-sungguh merasakan penyelamatan Allah itu.
Jalan lain itu bukanlah sekadar jalan yang berbeda, atau kreativitas belaka, namun semua itu bersumber pada ketaatan pada perintah Allah.
Yoel M. Indrasmoro
Jalan lain itu bukanlah sekadar jalan yang berbeda, atau kreativitas belaka, namun semua itu bersumber pada ketaatan pada perintah Allah. Seandainya mereka tak peka terhadap mimpi—menganggapnya hanya sebagai bunga tidur—jalan lain itu tak akan mereka tempuh.
Mungkin persoalannya sering di sini, manusia dengan akalnya tak jarang menciptakan kreativitasnya di luar Allah dan lupa bahwa kreativitas pun karunia Allah. Allah—Sang Pencipta—adalah Pribadi Kreatif yang rindu manusia menggunakan kreativitasnya dalam kendali Allah. Ini bukanlah ketaatan buta, tetapi kerelaan tunduk pada kedaulatan Allah.
Pada titik ini, kita perlu meneladan para majusi.
Yoel M. Indrasmoro
Gambar: Freepik