Jalan Turun Sekolah-sekolah Kristen

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Di daerah kita mungkin ada sekolah Kristen yang dahulu muridnya banyak, tetapi sekarang sedikit.  Bekerja sebagai guru, menjadi pengurus, menyekolahkan anak di sekolah Kristen yang demikian tampaknya tidak menjadi pilihan bagi banyak orang, termasuk orang Kristen sendiri. Akan tetapi, bagi yang merasa terpanggil, bisa menjadi kesempatan untuk menghayati ”jalan turun”.

Ungkapan ”jalan turun” ini sempat dimunculkan dalam sebuah pertemuan perwakilan gereja pendiri dan para guru sebuah sekolah Kristen saat merayakan Pekan Pendidikan Kristen (Pepenkris) 2023. Beberapa peserta secara terbuka menyatakan setuju dan merasa disemangati melalui penggunaan kata tersebut.

Jalan turun atau gerakan ke bawah yang dimaksud adalah jalan yang sudah ditempuh oleh Yesus Sang Guru. Ini adalah jalan menuju orang-orang miskin, tersisih, menderita—jalan menuju semua orang yang mendambakan bela rasa. Apa yang dapat ditawarkan? Bukan keberhasilan, bukan popularitas, bukan kekuasaan, melainkan kegembiraan dan kedamaian sebagai anak-anak Allah.

Seorang pemikir Kristiani yang ikut mempopulerkan istilah ”jalan turun” itu adalah Henri Nouwen (1932-1996). Dia berpendapat: ”Suara hidup kita diwarnai dengan berbagai macam dorongan untuk ”naik lebih tinggi lagi” dan alasan  yang paling banyak dikemukakan adalah ”kita dapat berbuat baik bagi begitu banyak orang”.

Namun, suara-suara yang memanggil kita untuk bergerak naik, sama sekali tidak terdapat dalam Injil. Apa yang kita bayangkan tentang naik, menurut Injil tak bisa dipisahkan dengan turun ke yang paling bawah. ”Bukankah ’Ia telah naik’ berarti bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah?” (Ef. 4:9).

Nouwen lahir di Belanda, ditahbiskan sebagai imam Katolik di Belanda, kemudian menjadi dosen terkenal di beberapa universitas Amerika Serikat. Perutusan pelayanannya memungkinkan dia berkunjung ke berbagai tempat dan komunitas di belahan negara lain. Pertanyaan yang sering  menyertai di manapun dia melayani adalah: ”Di mana Allah menghendaki saya berada?” Apakah tetap di dunia kampus atau komunitas akademisi yang telah mengantarkannya menjadi guru besar? Apakah di komunitas biara Trapis dengan sosok terkenal seperti Thomas Merton? Apakah di komunitas gerakan pembebasan orang-orang Amerika Latin di mana sosok Uskup Oscar Romero sangat menginspirasi? Apakah di komunitas para tunagrahita yang didirikan oleh Jean Vanier? Pada sepuluh tahun terakhir hidupnya, Nouwen berketetapan menerima panggilan menjadi bagian komunitas L’Arche Daybreak di Kanada, di mana anggota intinya adalah tunagrahita.     

Dalam setahun terakhir ini cukup sering renungan-renungan pendek warisan Nouwen dan Jean Vanier (pembimbing rohani Nouwen) dibagikan di lingkungan yayasan pendidikan Kristen di mana penulis melayani. Warisan rohani itu bersinggungan dengan panggilan membangun komunitas, dan membawa damai dengan bantuan doa hening (kontemplatif).

Topik tentang komunitas dan yang menyekitarinya dirasa relevan mengiringi pergumulan sekolah-sekolah Kristen di tempat penulis. Menjelang dimulainya tahun ajaran baru 2022-2023  pengurus yayasan meminta setiap kepala sekolah untuk menginformasikan jumlah calon murid yang sudah mendaftar. Secara umum dari segi jumlah siswa, sekolah-sekolah Kristen itu tidak sekuat/sebanyak  dulu.  Pertanyaannya, untuk saat ini, sekolah Kristen harus kuat dalam hal apa? Saatnya sekolah Kristen menjadi lebih kuat pada keyakinan diri dipanggil sebagai komunitas, untuk lebih terbuka mengumumkan tujuan dan semangat yang mempersatukan sebagai sekolah Kristen. Mengakui bahwa ikatan yang mempersatukan itu berasal dari Tuhan yang telah lebih dahulu memilih jalan turun.

Tyas Budi Legowo

Foto: sdkristenpurwodadi.mysch.id