Kebaktian Gereja sebagai Menghadirkan Kristus
Tak dimungkiri kita merasa senang jika ibadah di gereja kita dihadiri banyak orang. Kita juga senang jumlah warga gereja kita terus bertambah. Sebaliknya, jika jumlah warga gereja berkurang, atau yang datang beribadah makin sedikit, bisa menjadikan galau. Saya termasuk yang belajar menerima kenyataan bahwa gereja di mana saya melayani, jumlah warga di beberapa pasamuwan/pepantan semakin sedikit. Ada dua pasamuwan ketika ibadah Minggu jika semua warga gereja hadir jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Satu dari pasamuwan itu warganya tinggal satu keluarga terdiri atas empat jiwa.
Apa yang menjadi ketakutan dari pasamuwan yang jumlah warganya sedikit itu bukan bagaimana keadaan besok jika jumlah warga terus berkurang. Perasaan kecil hati sebagai pasamuwan kecil dibandingkan pasamuwan lainnya dalam satu gereja kadang muncul juga. Yang mereka butuhkan adalah peneguhan bahwa meskipun kecil, tetapi diterima dalam semangat kebersamaan dengan pasamuwan-pasamuwan lainnya. Dengan tulus mereka menyampaikan terima kasih kepada para pelayan ibadah dari pasamuwan lain, yang setiap minggu bergantian melayani mereka.
Pada Minggu Adven III lalu, saya terjadwal melayani ibadah di salah satu pasamuwan kecil tadi. Jika semua warganya hadir jumlahnya delapan orang, atau terdiri atas empat keluarga. Jaraknya sekitar 15 km arah timur dari kota kabupaten. Keunikan dari pasamuwan itu adalah saat ibadah Minggu bisa sepakat akan dilakukan di gereja atau di rumah. Kenapa tidak selalu di gereja? Saat ini bangunan gereja di pasamuwan itu dipakai oleh dua kelompok. Sekitar tujuh tahun lalu terjadi perpecahan, dampaknya ibadah di gereja diadakan dua kali, pagi dan siang. Pasamuwan yang saya layani beribadah siang.
Kami berusaha menghayati hidup bersama di tengah pasamuwan yang pernah mengalami pedihnya perpecahan dan terpanggil untuk bertumbuh sebagai komunitas pengharapan. Bahwa tetap ada panggilan untuk hidup bersama-sama, setia kawan dengan kaum lemah, untuk menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Bersama dengan beberapa warga gereja yang ada, kami mau datang sebagai orang-orang yang berdoa atau beribadah di tengah kelemahan kami.
Untuk ibadah Minggu Adven III itu disepakati waktunya lebih awal dan bertempat di rumah warga. Dengan kondisi badan kurang sehat saya bersama isteri datang ke pasamuwan itu. Dalam perjalanan sempat terlintas sesuatu di pikiran saya, yang sesungguhnya adalah godaan. Jika semua unsur liturgi nanti saya yang memimpin, kemungkinan kebaktian akan lebih ringkas, ada unsur liturgi yang dikurangi jika menuruti badan yang kurang sehat.
Bersyukur bahwa warga yang hadir kebaktian tampak antusias. Dipimpin oleh majelis pasamuwan setempat dilakukan pembagian tugas melayankan bagian liturgi untuk semua yang datang. Termasuk dua anak peserta kebaktian yang paling muda, masing-masing kelas 4 SD dan 7 SMP, bisa ikut melayankan pembacaan liturgi dengan baik. Kebaktian dengan semua unsur liturginya bisa terlaksana dengan utuh dan lancar.
Adanya godaan untuk mengurangi unsur liturgi kebaktian, kemudian mengingatkan saya pada pendapat seorang pembimbing rohani bahwa dunia sekitar kita berusaha menjauhkan kita dari kebaktian. Dunia mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dalam kebaktian ini. Mengapa kamu tidak segera sudahi kebaktian ini untuk segera bisa pergi mendapatkan kebahagiaan di tempat lain?
Kebaktian artinya hadir bersama-sama sebagai suatu komunitas umat Allah untuk mewartakan kehadiran Kristus. Kebaktian gereja di sepanjang tahun menghadirkan kembali Kristus di tengah-tengah kehidupan kita. Kita sebagai persekutuan umat Allah menjadi pembawa kehadiran kehidupan Kristus di dunia kita. Bukan sekadar kehidupan yang mengakui bahwa Kristus pernah hidup, melainkan kehidupan yang mengakui bahwa kita hidup sabagai Tubuh Kristus.
Kebaktian kita mengikuti tahun liturgi atau kalender gerejawi, dengan masa-masanya dan hari-hari perayaannya. Tahun liturgi itu memperlihatkan kepada kita peristiwa Allah di dalam sejarah sebagai peristiwa dunia. Kalender itu membantu kita menjawab pertanyaan dasar yang muncul, yaitu ”Apa yang sedang terjadi?” Yang sedang terjadi adalah Allah berada di antara kita, dilahirkan di tengah-tengah kita, yang menderita untuk kita, yang naik ke surga dengan memberikan pengharapan dan mengutus Roh Kudus-Nya. Peristiwa ini berlawanan dengan jawaban kosong dan membosankan yang biasanya kita dapatkan ketika kita saling mengajukan pertanyaan itu dalam perjalanan hidup kita. ”Ada apa?” dan jawaban yang kita dengar biasanya adalah ”O, tidak ada apa-apa!”
Apa yang sedang terjadi adalah milik Tuhan. Kita termasuk di dalamnya. Kebaktian gereja membantu kita menghubungkan kisah kita dengan kisah Tuhan. Kita adalah bagian dari pewahyuan Allah yang sedang terjadi dan yang menyatakan bahwa penderitaan dan kegembiraan kita adalah bagian dari kisah Tuhan. Pencobaan kita yang besar adalah memutus kisah kita dan kisah Tuhan.
Di dalam kebaktian kita berada bersama-sama orang lain—orang yang baru saja mendapatkan seorang bayi, yang lain kehilangan ibunya, yang lain lagi bergembira karena memperoleh pekerjaan baru—dan kita disadarkan segala sesuatu ada di sini. Kita harus bersyukur kepada Tuhan karena kita tidak sendirian. Dalam kebaktian kita mendengarkan bacaan-bacaan Alkitab, bernyanyi, dan memperhatikan unsur-unsur liturgi lainnya. Seluruh aktivitas itu mengingatkan kepada kita semua, tidak penting apa pun yang kita alami—kegembiraan, kejengkelan, atau penderitaan—bahwa Tuhan ada di sini. Umat yang mengadakan kebaktian dipanggil untuk mengatakan bahwa Tuhan ada di sini bersama kita.
Tyas Budi Legowo
Foto: Istimewa