Keinginan Daging vs Keinginan Roh

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Kisah ”Masakan yang Merah-merah” sungguh menggelikan sekaligus menyedihkan (Kej 25:29-34). Menggelikan karena Yakub dan Esau memperjualbelikan status. Hak kesulungan menjadi barang dagangan. Menyedihkan karena ada orang yang demi tujuan menghalalkan segala cara. Dengan menggunakan masakan yang dibuatnya, Yakub membuat jerat agar Esau menjual hak kesulungannya.

Menyelepekan

Lebih mengenaskan, Esau menjual hak kesulungannya demi makanan. Penulis Kejadian mencatat perbuatan Esau itu dengan ”Demikianlah Esau menyepelekan hak kesulungan itu.” (Kej. 25:34).

Yakub turut bersalah dalam hal ini. Namun, tindakan Esau tak dapat dibenarkan. Bagaimanapun, dia memandang sepele hak kesulungan yang melekat erat dalam hidupnya. Hanya demi urusan perut, Esau telah menjual dirinya.

Perhatikanlah teriakan Esau: ”Lihat, aku nyaris mati; apa gunanya bagiku hak kesulungan itu?” (Kej 25:32). Esau lebih menghargai ”masakan yang merah-merah” itu ketimbang hak kesulungan. Esau tidak berpikir jauh ke depan. Pikirannya dibatasi kepentingan sesaat: lapar.

Memandang ringan hak kesulungan sejatinya menyepelakan Tuhan Sang Pemberi. Memandang sepele diri demi sesuap nasi sesungguhnya juga memandang sebelah mata kepada Tuhan—Sang Pemberi Hidup. Menyepelekan status diri tak beda dengan mengecilkan Tuhan—Sang Pemberi.

Hidup Menurut Roh

Nah, pertanyaannya sekarang, apakah status kita? Jawabnya, tentu saja, Kristen! Kristen artinya pengikut Kristus. Ya, itulah status kita.

Pertanyaannya: masihkah kita menghargai status tersebut? Kalau kita mengaku diri Kristen, jadilah pengikut Kristus: orang-orang yang mengikuti teladan Kristus. Jangan jual kekristenan kita!

Caranya: hiduplah menurut Roh! Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menulis: ”Sebab, mereka yang hidup menurut tabiat daging, memikirkan hal-hal yang dari keinginan daging. Mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh. Sebab, keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera” (Rm. 8:5-6).  

Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus membawa orang pada pilihan: hidup menurut tabiat tabiat daging atau hidup menurut Roh Allah. Karena Allah adalah pencipta, semestinya manusia mengambil sikap untuk hidup menurut Roh Allah.

Hanya persoalannya, dosa tak mau melepaskan manusia. Dosa selalu memaksa manusia untuk hidup menurut tabiat daging. Caranya sederhana: dosa mengelus-elus keakuan manusia. Keakuan itulah yang akhirnya membawa manusia untuk menjauh dari Allah. Dan menjauh dari Allah berarti menjauhi hidup dan mendekati maut.

Selanjutnya Paulus menyatakan bahwa seseorang dapat menyatakan hidup dalam Roh kalau Roh Allah tinggal di dalam dirinya. Dan itu berarti Roh Allah yang berkuasa dalam diri orang tersebut.

Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Kalian hidup menurut Roh Allah—kalau, tentunya, Roh Allah sungguh-sungguh memegang peranan di dalam dirimu” (Rm. 8:9). Dengan kata lain, jika Roh Allah tidak sungguh-sungguh berperan, maka orang tersebut tidak bisa menyatakan bahwa Roh Allah tinggal di dalam dirinya. 

Alur pikir yang sama dinyatakan Paulus berkait dengan Roh Kristus. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini dinyatakan: ”Orang yang tidak mempunyai Roh Kristus, orang itu bukanlah kepunyaan Kristus” (Rm. 8:9). Memiliki Roh Kristus berarti bersedia dikuasai oleh Roh Kristus. Dan karena itu, dia akan disebut kepunyaan Kristus. Memiliki Roh Kristus berarti juga dimiliki Kristus. Artinya, dirinya sungguh-sungguh dikuasai Kristus.

Jika tidak mau dikuasai oleh Roh Kristus—atau memberi diri dikuasai oleh Roh Kristus—maka ia telah bertindakan otonom. Dirinyalah yang menjadi pemimpin atas dirinya sendiri.

Dan Itulah yang terjadi dengan Esau. Ia punya keinginan dan merasa nyaris mati karena keinginan itu. Pada titik ini, ia telah dikuasai dan bukan menguasai keinginan. Ia sudah menyepelakan Allah. Ketika menyepelekan Allah, Esau juga telah menyepelekan dirinya sendiri.

Dalam hidup kita mungkin akan bertemu dengan sesuatu yang menarik—sejenis dengan ”masakan yang merah-merah”. Itu bisa berarti harta, takhta, atau wanita (pria). Apa yang hendak kita lakukan? Menjual diri atau tetap menghargai status diri kita dengan menolak semuanya itu?

Mendengarkan

Pada titik ini agaknya kita perlu kembali menggaungkan kembali seruan Sang Guru: ”Siapa bertelinga hendaklah ia mendengar”? Mari kita bertanya dalam hati: ”Demi kepentingan siapakah semua ini?” Demi kepentingan Allah atau manusia? Mengapa Allah berfirman? Buat siapakah semuanya itu?

Pada hemat saya, ada kebenaran yang pasti berkait dengan firman Allah. Kebenaran itu adalah kita—manusia, penting di mata-Nya. Kita sungguh penting di mata Allah sehingga Allah merasa perlu menyapa kita.

Ini tak ubahnya dengan apa yang biasa dilakukan orang tua terhadap anaknya. Mengapa orang tua memberi nasihat, kadang dengan agak keras, kepada anaknya? Jawabannya karena itu adalah anaknya. Sebaik-baiknya orang tua, kadar tegurannya kepada saya pastilah berbeda dibandingkan dengan teman-teman saya.

Kedua, Allah ingin menyapa umat-Nya. Allah ingin bersekutu dengan manusia. Allah tidak ingin hidup sendirian. Dan kitalah yang disapa-Nya. Dan sebenarnya, kodrat manusia sebagai ciptaan Allah—yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah—sejatinya juga bersekutu dengan Allah. sebagaimana Allah, manusia pun tak ada yang suka dengan kesepian. Kalau Saudara merasa kesepian, percayalah ada Pribadi—Allah sendiri yang siap menemani.

Ketiga, sejatinya Allah ingin memercayakan firman-Nya kepada kita. Perhatikan perumpamaan penabur tadi. Penabur memercayakan benih terbaiknya kepada tanah. Saudara dan saya adalah pribadi-pribadi kepercayaan. Untuk apa? Untuk mengelola kehidupan ini.

Nah, pada titik ini kita perlu bertanya, dari keempat jenis tanah tadi, kita jenis tanah yang mana? (1) yang tidak peduli; (2) yang antusias, namun tidak terlalu berakar dalam hatinya; (3) mengerti, tapi meragukannya, dan (4) orang yang mengerti dan menerimanya dalam hatinya.

Jawabannya? Dugaan saya adalah bisa jadi kita pernah mengalami keempat kondisi ini. Kesulitan hidup sering kali membuat kita mengabaikannya; atau semangat di awal namun tidak mengerti; atau mengerti, tetapi malah meragukannya.

Nah, di titik ini agaknya kita mesti jujur dan terbuka. Jika kita memang tidak mengerti ya bertanya, klarifikasi, dan mohon pengertian. Kalau saya, jika tidak mengerti saya akan menggunakan Alkitab dengan bahasa Indonesia sederhana atau setidaknya Bahasa Indonesia Masa kini.

Kalau nggak paham, bertanyalah! Kita bisa belajar dari Maria, ibunda Yesus dalam hal ini. Alkitab menyatakan bahwa ”Maria menyimpan semua perkara itu dalam hatinya”. Artinya, jika tak paham, ya simpan dahulu. Jangan langsung dibuang!

Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa