Keputusasaan dan Pengharapan

Published by Admin on

Ada SMP dan SMK Kristen yang letaknya berada dalam satu lokasi. Saat pendaftaran siswa baru pihak sekolah tentunya ingin mendapat siswa yang cukup banyak. Akan tetapi, pada tahun ajaran 2023-2024 itu kedua sekolah itu hanya mendapat seorang siswa baru difabel. Siswa baru SMP tuna wicara, siswa baru SMK autis.

Di suatu kesempatan,  seorang guru bahasa Inggris—yang juga kepala SMP Kristen itu—menceritakan pengalaman mengajar siswa barunya.  ”Belajar bahasa Inggris bersamanya adalah hal yang sangat menantang bagi saya karena keistimewaannya yakni tuna wicara. Namun, keistmewaannya  itu menjadi inspirasi bagi saya untuk mendidiknya dalam penguatan karakter dan kebiasaan sehari-hari yang mungkin tidak dilakukannya di rumah. Saya selalu berusaha memberi ilmu baginya supaya tidak lupa huruf dan menulis, dan berkolaborasi dengan orang tuanya. Saya memberi pekerjaan rumah yang juga saya kirimkan ke orang tuanya.”

Kehadiran dua siswa baru difabel di sekolah-sekolah Kristen itu mengingatkan kebenaran ungkapan  ”Di dalam keluarga atau komunitas, kita tidak memilih saudara-saudari  kita, mereka diberikan kepada kita”.  Karena itu, tidak seharusnya  kita mencari komunitas ideal. Sebab permasalahannya adalah apakah kita mencintai orang-orang yang ditempatkan di sisi kita oleh Allah hari ini? Mereka adalah tanda dari Allah, diberikan kepada kita sebagai orang yang telah dipilih bagi kita. Bersama merekalah kita dipanggil untuk bersatu menghayati suatu panggilan kasih.

Belajar dari pengalaman Nouwen, para difabel—yang diberikan Tuhan kepada kita—adalah penuntun bagi kita untuk menemukan arti hidup. Mereka mengajarkan betapa kecilnya kehidupan, tetapi juga betapa luar biasanya karunia kehidupan. Orang-orang tuna wicara, berbicara dengan kata-kata yang belum tentu mudah dipahami. Namun, mereka bisa bercerita betapa kehidupan itu tersembunyi, lemah, dan dalam. Hidup bersama mereka membuat kita bisa merasakan betapa dekatnya hubungan dengan kehidupan.

Nouwen bersaksi, ”Saya mulai sadar bahwa setiap saat orang-orang akan bekata ’ya’ untuk kehidupan dengan bentuk apa pun—kehidupan  yang tak dilahirkan, hidup untuk masuk ke dalam daftar cacat kematian, kehidupan dengan cacat yang berat, kehidupan karena kehancuran rumah tangga dan  tidak punya tempat tinggal—dan mereka mulai memberikan pengharapan. Saya belum pernah berpengalaman dengan pengharapan yang begitu konkret sampai dengan saat saya memandikan Adam. Adam meneguhkan pengharapan saya, tetapi bukan merupakan suatu optimisme. Adam tidak pernah mengalami perkembangan hidup yang lebih baik, tetapi ia memberikan pengharapan. Pengharapan ini bisa berbentuk ikatan yang sangat kuat di antara banyak orang yang bersedia pergi ke tempat di mana kehidupan itu lemah dan tersembunyi. Inilah yang membawa kita kepada inti agama Kristen: yang menyatakan supaya hidup bersama sehingga kita bisa bergerak semakin dekat kepada mereka yang hidupnya hancur dan miskin.”

Pengharapan itu berbeda dengan optimisme. Dalam tulisan berjudul ”Perjalanan dari Keputusasaan Menuju Pengharapan” Nouwen membagikan  pandangan yang beranjak dari keyakinan, bahwa Yesus tidak hanya memilih mati untuk dan bersama kita, tetapi juga memasuki tempat terakhir yang tidak ada harapannya sama sekali. Dari tempat yang tidak ada harapan itulah Yesus berbicara kepada kita tentang pengharapan. Dari tempat pembusukan itu—yang berbau busuk dan gelap—Dia bangkit untuk menyertai kita dalam perjalanan kita. Meski kita sering putus asa, Yesus selalu berbicara tentang pengharapan. 

Yesus bukan seorang yang optimis. Dia juga bukan seorang yang pesimis.  Optimisme mengatur realitas yang memampukan kita untuk mengatakan bahwa sesuatu akan menjadi lebih baik. Pesimisme mengatur realitas yang sama sehingga kita dapat mengatakan sesuatu mungkin dapat menjadi lebih buruk. Dengan tidak menjadi orang yang optimis maupun yang pesimis, Yesus berbicara tentang pengharapan yang tidak didasarkan pada kesempatan bahwa sesuatu akan menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pengharapan yang Ia berikan dibangun atas janji-Nya, bahwa apa pun yang terjadi Tuhan akan tinggal bersama kita sepanjang masa, dan di mana pun juga Tuhan kita ialah Tuhan kehidupan.

Kita tidak akan pernah mengetahui pengharapan itu sebelum kita merasakan keputusasaan yang sebenarnya. Ada keputusasaan sehubungan dengan kondisi sekolah Kristen yang muridnya sedikit. Tampak dari ungkapan seorang ibu berikut ini:  ”Saya selalu mengikuti kondisi sekolah-sekolah Kristen. Hati saya tidak tenang dan mata ini selalu ingin menangis. Kenapa sekolah Kristen menjadi mati suri? Saya jadi teringat nasihat Simbok saya, bahwa keadaan di dunia ini cokro manggilingan atau  roda yang berputar, suatu saat kita di atas dan sebaliknya. Dulu sekolah-sekolah Kristen pernah jaya, dan sekarang berada di titik nadir. Hanya ’doa’ yang selalu saya panjatkan agar sekolah-sekolah Kristen bangkit seperti dahulu lagi.”

Sebagai pengikut-Nya, kita dipanggil untuk menjadi umat berpengharapan dan membangun komunitas pengharapan di dunia ini, di mana pilihan-pilihannya biasanya dibatasi pada optimisme atau pesimisme.  Sebelumnya kita perlu memasuki kubur dari mana Yesus  berbicara kepada kita tentang pengharapan. Bersama dengan orang yang diberikan Tuhan dalam komunitas, kita bisa berkata, ”Aku mau memasuki kubur itu bersama kamu.”

Ini berarti secara jujur mau menghadapi dan mengatasi keputusasaan yang kita alami sekarang ini. Secara bersama-sama pula kita dapat bertemu dengan Tuhan yang bangkit dari kubur keputusasaan-Nya, yang siap untuk sekali lagi memberikan kasih-Nya. Di luar makam keputusasaan-Nya, Yesus mendatangi kita. Langsung setelah Ia keluar dari kubur-Nya, Ia menemui kita. Ia mengatakan sesuatu yang sering kita lupakan, yaitu inti pesan perutusan-Nya: ”Supaya kamu saling mengasihi. Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13:34).

Yesus lebih dahulu mengasihi kita. Yesus mengatakan bahwa Allah telah mengasihi kita sejak dahulu kala sebelum kita saling mengasihi. Kasih-Nya penuh, total, dan tak bersyarat. Hasil kasih sejati berasal dari orang-orang yang datang berkumpul bersama-sama yang benar-benar berakar dalam kasih pertama Allah. Kasih itu memampukan untuk mengakui orang lain sebagai saudara dan membangun sebuah komunitas

Tyas Budi Legowo

Foto: Istimewa