Ketika Sebuah Sekolah Kristen Disarankan Tutup
Sekolah Kristen dipanggil menjadi komunitas. Dalam komunitas kerja sama harus bersumber pada persatuan. Persatuan berdasarkan pengalaman cinta batiniah yang sama. Ada pengakuan bahwa ada satu badan, satu umat dan dipanggil Tuhan untuk menjadi sumber cinta kasih dan perdamaian. Pelaksanaannya lebih dalam keheningan daripada kata-kata. Lebih dalam perayaan daripada karya. Persatuan adalah pengalaman membuka diri dan memercayakan diri, yang mengalir dari apa yang paling dalam dari seseorang. Persatuan adalah anugerah Roh Kudus.
Di atas segalanya, komunitas adalah tempat untuk hidup bersama. Karena itu, dalam hidup sehari-hari, perlu mengungkapkan kenyataan-kenyataan sebagai komunitas yang bersumber pada persatuan. Caranya bisa dengan simbol-simbol, pertemuan-pertemuan dan perayaan-perayaan yang mendorong kesadaran untuk hidup dalam persatuan. Bila sebuah komunitas hanya sekadar lapangan kerja, ia ada dalam bahaya mati.
Pada masa Adven minggu pertama ini, saya berkesempatan mengunjungi sebuah SMK Kristen yang masuk daftar dinas provinsi untuk merger atau ditutup. Letak sekolah itu di sebuah pinggiran kota kecamatan. Saya menempuhnya dalam satu jam perjalanan dengan kendaraan pribadi. Bersyukur saya bisa sampai di sekolah itu setengah jam sebelum pelajaran pertama dimulai.
Saya tempatkan agenda perkunjungan itu beralaskan keheningan. Seperti yang menjadi ajakan di gereja di mana saya berpelayanan, bangun tidur kemudian membaca kitab suci untuk rasakan getaran panggilan Tuhan. Sesuai leksionari, bacaan Perjanjian Baru pagi itu adalah Wahyu 15:1-8. Saya tergetar pada ayat 3: ”Mereka menyanyikan nyanyian Musa, hamba Allah, dan nyanyian Anak Domba, bunyinya: “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Maha Kuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!”
Nyanyian meluap dari hati yang berkobar-kobar dengan pengharapan terus berlangsungnya kehidupan yang memuji, memuliakan, dan mengabdi kepada Allah. Dengan berada bersama sekolah yang disarankan tutup itu, semoga saya boleh mengalami, bahwa melalui sekolah itu ada pengharapan hingga meluap nyanyian: ”Besar dan ajaib segala pekerjaanMu…. Adil dan benar segala jalan-Mu.”
Jumlah murid di SMK Kristen itu enam orang. Di kelas 12 ada empat 4 siswa, sedang tidak masuk karena usai ujian. Di kelas 11 dan 10 masing-masing satu siswa. Jadilah saya bertemu, berkenalan, dan bercakap-cakap dengan kedua anak itu. Sebut saja namanya Bunga dan Surya.
Bunga mengalami kesulitan berbicara. Dia datang lebih awal dan langung membersihkan kelas. Dengan semangat dia ambil kain pel, dan mengeringkan lantai yang basah karena tampias hujan semalam. Surya memiliki kecenderungan autis. Dia datang belakangan dan diingatkan oleh Bunga agar tidak masuk ruang kelas karena masih basah usai dipel.
Bersama Ibu Kepala Sekolah, saya mendengar celoteh keduanya. Dengan semangat Surya menceritakan baru saja dibelikan motor baru oleh ibunya, dan dia boleh mencobanya untuk pergi ke sekolah.
Kisah Bunga dan Surya di SMK Kristen itu mengingatkan bahwa komunitas tidak pernah boleh mendahului persoalan setiap anggotanya. Ia tercipta untuk anggota-anggotanya dan untuk pertumbuhan mereka. Dalam kenyataan, kesatuan dan keindahannya memancar dari masing-masing pribadi para anggotanya; dalam kebenaran, cinta dan persatuan mereka. Bagi Dinas pendidikan, SMK Kristen itu masuk kategori sekolah yang tidak memenuhi standar. Di sisi lain keberadaan sekolah itu bergerak sebagai komunitas, di mana orang-orang tetap peduli satu dengan yang lain dan akan pertumbuhan masing-masing.
Dari percakapan dengan kepala sekolah setempat, kami berdua menemukan mimpi baru. Mungkin suatu saat sekolah itu tutup karena tidak bisa memenuhi standar dinas pendidikan. Namun, bukan berarti sekolah itu mati. Sekolah yang kelihatannya akan mati itu bisa menyatakan kebenaran seperti perumpamaan pohon ara dalam bacaan Minggu Adven 1: ”Apabila ranting-rantingnya melembut dan mulai bertunas, kamu tahu bahwa musim semi sudah dekat” (Mrk. 13:28).
Sekolah Kristen yang lemah itu seperti pohon yang daun-daunnya mengering dan rontok di penghujung musim kemarau, tetapi masih diberi kehidupan. Tidak semua ranting-rantingnya mengeras dan mati. Masih ada ranting-ranting yang melembut. Awal musim hujan memungkinkan bertumbuhnya tunas kecil yang halus, yang perlu diberi diperhatikan dan dirawat untuk terus bertumbuh.
Kami memiliki mimpi, di kota kecil tempat SMK Kristen itu berada suatu saat akan lahir SD Kristen. Beberapa gereja di kota itu mempunyai pengalaman menyelenggarakan KB-TK Kristen, dan saat ini masih ada SMP Kristen ditambah SMK Kristen yang disarankan tutup tadi. Semoga pada awal tahun 2024 bisa terselenggara perayaan Natal bersama melibatkan pimpinan gereja-gereja dan para penyelenggara sekolah Kristen di kota itu. Dengan perenungan pentingnya bersama menyelenggarakan SD Kristen. Dengan mimpi semoga ke depan di kota itu ada sekolah Kristen di semua jemua jenjang sebagai komunitas.
Mimpi itu bisa mulai dibangun dan terus dipelihara dengan kesediaan menemani sekolah-sekolah Kristen. Sebab, ”Menemani adalah awal kita mendengarkan, juga mengalami, banyak keajaiban.” Sehingga layak untuk terus dinyanyikan, ”Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu…. Adil dan benar segala jalan-Mu.”
Tyas Budi Legowo
Foto: Istimewa