Kinerja Pelayanan Paulus
”Kamu sendiri pun memang tahu, Saudara-saudara, bahwa kedatangan kami di antaramu tidaklah sia-sia” (1Tes. 2:1). Apa tanggapan kita dengan penggalan surat Paulus ini? Paulus mengajak orang-orang yang pernah dilayani untuk menilai pelayanannya selama di Tesalonika.
Sejatinya, ajakan macam begini sungguh berisiko. Jika pelayanan Paulus sungguh tak berterima di mata warga jemaat di Tesalonika, pastilah dia akan menuai cibiran. Dan, ini menariknya, Paulus menggunakan ragam komunikasi tulis. Kalau hanya omongan, saat ada orang yang sungguh-sungguh memahami situasinya, Paulus bisa mengelak. Namun, Paulus tak mungkin mengelak karena semuanya telah tertulis—hitam di atas putih.
Evaluasi Diri
Dalam kalimat itu, tampak jugalah bahwa Paulus merupakan pribadi yang terbuka. Ia siap dilihat, diteropong, diedit, dan diaudit oleh orang-orang yang pernah dilayaninya. Ia bahkan mengajak pembaca suratnya untuk mengevaluasi kinerjanya. Paulus tak hanya mengevaluasi dirinya sendiri, tetapi juga mengajak orang lain memberikan evaluasi.
Nah, berkait evaluasi diri, tak banyak orang mau melakukannya. Seberapa banyak kita senang dievaluasi? Tentu di tempat kerja, evaluasi merupakan hal lumrah. Tak mau dievaluasi malah aneh. Lalu, bagaimana dengan pelayanan kita?
Inilah uniknya Paulus. Untuk pemberitaan Injil pun dia mau mengevaluasi dirinya. Mengapa? Karena keberanian mengevaluasi kinerja secara objektif akan membuat kita terhindar dari kesalahan yang sama pada masa depan. Sejatinya, evaluasi kinerja tak beda dengan evaluasi diri sendiri. Dan Paulus berani berkata bahwa pelayanannya di Tesalonika tidak percuma. Adakah kesan sombong dalam kalimat ini?
Jawabannya pasti tidak. Bahkan, kesan sombong dalam evaluasi diri Paulus itu pupus dengan kalimat selanjutnya: ”dengan pertolongan Allah kita, kami beroleh keberanian untuk memberitakan Injil Allah kepada kamu dalam perjuangan yang berat” (1Tes. 2:2).
Jelaslah, sang rasul menyatakan bahwa kesuksesannya bukanlah karyanya sendiri. Namun, karena pertolongan Allah. Dan, menarik untuk diperhatikan, Paulus menggunakan kata ganti orang pertama jamak. Ia memang tidak sendirian. Itu merupakan pekerjaan tim, yakni: Paulus, Silwanus dan Timotius.
Karakter Pelayanan Paulus
Perhatikan kalimat selanjutnya: ”Sebab, nasihat kami tidak lahir dari kesesatan atau dari maksud yang tidak murni dan juga tidak disertai tipu daya” (1Tes. 2:3). Bisa disingkat dalam satu kata: integritas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ”integritas” diartikan sebagai ”mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan”. Kewibawaan luntur tatkala kata-kata seseorang berbeda, lebih gawat lagi bertolak belakang, dengan sikap dan tindakannya.
Tak hanya berkait profesi guru atau pendeta. Dalam segala lini kehidupan setiap orang dituntut memiliki integritas. Sebab, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Karena itu, kita perlu menyatukan perkataan dan perbuatan.
Integritas merupakan modal utama seorang pemimpin. Ironisnya, itulah yang paling jarang dimiliki para pemimpin. Semakin tinggi level kepemimpinan, semakin besarlah godaan terhadap integritas pemimpin. Godaan itu bisa menimpa siapa saja. Kuasa, mengutip Lord Acton, memang cenderung membuat orang menyimpang.
Karena itulah, sebagai pribadi yang berintegritas, Paulus menulis, ”kami berbicara, bukan untuk menyenangkan manusia, melainkan untuk menyenangkan Allah yang menguji hati kita” (1Tes. 2:4). Mengapa? Karena Paulus sadar benar bahwa pelayanannya adalah anugerah Allah semata. Mengapa Paulus merasa perlu menekankan Allah yang menguji hati kita? Sebab, kadang orang tanpa sadar menjadikan pelayanan untuk menyenangkan dirinya sendiri.
Juga dalam pekerjaan sekuler. Jika kita meyakini bahwa pekerjaan kita adalah anugerah Allah, maka kita juga dipanggil—ketika harus memilih—untuk lebih menyenangkan Allah ketimbang manusia. Persoalannya, sering kali memang di sini, agar jabatan langgeng kita merasa harus memilih menyenangkan atasan kita ketimbang Allah. Padahal, jika mau ditelusuri lebih dalam bukankah pekerjaan pun adalah anugerah Allah?
Dan Paulus pun melanjutkan: ”Karena seperti yang kamu ketahui, kami tidak pernah bermulut manis dan tidak pernah mempunyai maksud serakah yang tersembunyi—Allah adalah saksi. Juga tidak pernah kami mencari pujian dari manusia, baik dari kamu, maupun dari orang-orang lain, sekalipun kami dapat berbuat demikian sebagai rasul-rasul Kristus. Tetapi, kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawat anaknya” (1Tes. 2:5-7).
Berkait mulut manis, Paulus mengajak warga jemaat di Tesalonika sebagai saksi. Ini merupakan hal wajar karena warga jemaatlah yang paling tahu apakah Paulus bermulut manis atau tidak. Sedangkan sikap serakah, tentu hanya Allah yang tahu, sehingga Paulus mengajak Allah sebagai saksi. Ini merupakan sikap yang sungguh berani karena Allah adalah Pribadi Mahatahu. Ramah di sini adalah sikap seorang Ibu, yang lemah lembut tetapi tegas.
Dan karakter pelayanan yang lain adalah rela berbagi hidup. Berbagi Injil merupakan hal yang mulia, tetapi berbagi hidup lebih utama lagi. Agaknya Paulus pun sadar bahwa berbagi kabar baik hanya akan berdampak jika berdasarkan berbagi hidup itu sendiri. Mengapa kekristenan tetap bertahan hingga abad XXI ini? Sebab Yesus tidak hanya bicara soal Kabar Baik, tetapi Dia menjadi bukti dari Kabar Baik itu. Yesus memberikan diri-Nya. Yesuslah Kabar Baik itu!
Dianggap Layak
Pertanyaan reflektifnya adalah mengapa Paulus, Silwanus, dan Timotius sampai pada sikap dan tindakan semacam itu? Jawabannya: Allah telah menganggap mereka layak. Karena dianggap layak oleh Allah, Paulus berusaha menghidupi kelayakan itu.
Dianggap layak memang bukan berarti layak. Dianggap layak merupakan anugerah. Hidup dalam anugerah berarti menyediakan diri untuk terus menghidupi kelayakan itu. Dan kelayakan terbesar dalam hidup manusia adalah dia dianggap layak untuk diselamatkan Allah.
Oleh karena itu, yang terlogis adalah menghidupi keselamatan yang telah dipercayakan Allah itu. Dan karena dianggap layak, mengasihi Allah dan manusia merupakan keniscayaan (lih. Mat. 22:37-40) Mengasihi Allah dan manusia bukanlah pilihan! Itulah inti pelayanan!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa