Kisah Dua Anak

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Perumpamaan Tuhan Yesus dalam Matius 21:28-32 sungguh sederhana. Entah sudah berapa kali kita mendengarnya. Karena itu, bisa jadi dalam hati kita timbul pertanyaan menggugat: ”Saya lebih mirip yang siapa?”

Kisahnya memang sederhana. Ada dua orang anak yang diminta ayahnya untuk bekerja di ladang. Anak yang pertama bilang, ”Aku tidak mau.” Namun, ia kemudian menyesal dan pergi. Sedangkan anak yang kedua berkata, ”Baik, Bapa.” Akan tetapi, ia tidak pergi.

Konteks Perumpamaan

Perumpamaan ini memang tidak berada di ruang hampa. Konteksnya adalah percakapan Tuhan dengan imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi (Mat. 21:23-27). Intinya: mereka mempertanyakan kuasa Yesus. Yesus tidak menjawabnya, malah balik bertanya, ”Dari manakah baptisan Yohanes? Dari surga atau dari manusia?”

Para pemimpin itu merasa terpojok. Bila mengakui adanya perkenan ilahi, lalu mengapa mereka tidak percaya? Namun, bila menyatakan bahwa tindakan Yohanes hanya manusiawi belaka, mereka akan berhadapan dengan orang banyak yang percaya dia datang dari Allah.

Pada titik ini Yesus membuat para pemimpin itu menyadari sikap mendua dalam diri mereka. Mereka tak mau memberi jawaban jelas dan hanya berkata, ”Kami tidak tahu!” Yesus pun menutup pembicaraan karena mereka tahu apa yang benar, tapi tidak mengakuinya secara terang-terangan. Artinya, yang di hati berbeda dengan yang di bibir!

Makna Perumpamaan

Para pemimpin agama dan politik itu bersikap seperti anak yang berkata ya, tetapi tidak melakukan yang diharapkan. Orang-orang yang mereka anggap rendah, yakni para pemungut cukai dan pelacur, sebaliknya seperti anak yang pada mulanya menolak permintaan sang ayah, namun kemudian menyesal dan menurut.

Kata ”menyesal” dalam perumpamaan ini bisa dipahami sebagai ”memikirkan kembali” atau ”meninjau kembali keputusan yang telah dibuat”. Ada usaha untuk tidak membiarkan diri terpancang pada satu pandangan mati. Itulah yang terjadi pada anak pertama. Meski jelas mengatakan tidak mau berangkat, ia akhirnya berangkat pergi juga. Boleh jadi ia mulai berpikir mengapa sang ayah memintanya bekerja. Apa tidak ada pekerja? Apa memang amat perlu? Tidak dijelaskan dalam perumpamaan alasan sang ayah. Namun, anak pertama jelas mengerti maksudnya. Dan ia yakin sebaiknya menuruti.

Mari kita telaah kembali kalimat sang ayah: ”Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur!” Kalimat ini bukanlah sebuah perintah keras, melainkan tawaran halus. Terasa juga sapaan yang penuh kasih. Isi permintaannya sendiri sebetulnya tidak amat berarti. Ada banyak orang yang menunggu dipekerjakan di kebun anggurnya. Sang ayah meminta anaknya bekerja di sana justru karena ia mau menawarkan kesempatan. Dan lebih khusus lagi, ia menawarkan kesempatan bekerja ”hari ini”.

Tawaran bekerja di kebun anggur ”hari ini” mengingatkan kita pada doa Bapa Kami: ”Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Dalam perumpamaan ini ditunjukkan betapa sang ayah ingin memberi sesuatu yang dapat membuat anaknya mendapatkan sesuatu pada ”hari ini”. Rezeki pada hari ini ditawarkan dengan lembut. Bisa ditolak, tak dianggap penting, diremehkan, tetapi tetap ditawarkan. Bagi yang awalnya tidak mau, tetapi kemudian berubah sikap, tawaran itu masih tetap berlaku. Perumpamaan ini tampaknya hendak menggemakan tema kemurahan hati Allah yang ditawarkan kepada siapa saja, tetapi tidak selalu diterima dengan spontan.

Yang kedua, sepertinya sang ayah ingin membuat anaknya berdiri tegak di mata para pekerja. Memang mereka adalah pemilik kebun anggur itu. Namun, bekerja di kebun anggur—tidak ongkang-ongkang kaki—akan membuat mereka dihargai oleh para pekerja. Lagi pula itu adalah kebun anggur mereka sendiri. Jika panenan baik, merekalah yang paling berbahagia. Jika gagal panen, mereka pulalah yang paling sengsara.

Yang Ketiga, ini persoalan hubungan orang tua dan anak. Ayah itu meminta, demi kepentingan anak. Ini bukan ayah tetangga, tetapi ayah sendiri. Menaati permintaan itu sungguh logis. Bukankah anak-anak itu sejatinya sudah mendapatkan semua kecukupan dari orang tuanya. Dan ayahnya meminta mereka bekerja di kebun anggurnya mereka sendiri. Anehnya ada yang tidak menaati.

Ketidaktaatan itu sebenarnya patut dipertanyakan mengingat hubungan antara orang tua dan anak tadi. Tidak taat kepada ayah tetangga itu wajar, tetapi enggak taat sama ayah sendiri sungguh tak wajar. Sekali lagi, ini masalah hubungan.

Nah, pertanyaannya sekarang: Bagaimana hubungan kita dengan Allah—yang sering dengan bangganya kita panggil—Bapa?

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa