Lalu Pergilah Abram

Published by Admin on

Sabda-Mu Abadi | 28 April 2024

Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan Tuhan kepadanya” (Kej. 12:4). Demikian­lah catatan penulis Kitab Kejadian berkait dengan panggilan Allah kepadanya. Menarik disimak, Abram, yang namanya berarti Bapa Agung, menanggapi sabda Allah itu. Mengapa Abram melakukannya?

Kemungkinan besar Abram memahami diri sebagai pribadi pilihan—yang dipanggil secara khusus. Setidaknya, sabda tersebut memang diperuntukkan bagi dirinya. Bisa jadi Abram sendiri menyadari bahwa semuanya adalah anugerah—tidak ada alasan apa pun bagi Allah untuk memilih Abram. Namun, toh Allah memilihnya.

Kenyataan itulah kemungkinan besar yang membuat Abram percaya kepada Allah. Percaya berarti memercayakan diri. Abram memercayakan dirinya kepada Allah karena dia merasa Allah telah percaya kepada dirinya untuk menjadi bangsa yang besar sekaligus menjadi berkat bagi banyak orang.

Namun demikian, Abram tidak menggantung­kan dirinya pada janji-janji Allah itu. Dia memercayakan dirinya kepada Allah—bahwa Allah sanggup menaati janji-Nya. Dan karena itulah Abram pergi!

Pergi merupakan tindakan iman. Pada kenyataannya Abram meninggalkan apa yang sudah pasti bagi dirinya—keluarganya, sanak saudara­nya, lingkungannya. Abram meninggalkan semua kepastian itu untuk pergi ke sesuatu yang tidak pasti. Allah sendiri tidak menunjukkan alamat yang dituju. Kepastian tempat itu memang bukan pada alamat atau geografi, tetapi kepada Allah yang akan menunjukkan tempat tersebut.

Dan karena itulah, Paulus menegaskan: ”Lalu percayalah Abraham kepada Allah dan Allah mem­perhitungkan hal itu [kepercayaan Abraham] kepadanya sebagai kebenaran” (Rm. 4:3). Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Abraham percaya kepada Allah, dan karena kepercayaannya ini ia diterima oleh Allah sebagai orang yang menyenangkan hati Allah.”

Paulus berkesimpulan bahwa Allah menerima Abraham sebagai orang yang menyenangkan hati-Nya. Mengapa? Karena ia memahami posisinya sebagai hamba. Dan hamba sejati selalu berusaha menyenangkan hati tuannya!

Keluarga semestinya menjadi tempat di mana setiap anak belajar peka terhadap panggilan Allah, lalu menaati panggilan Allah itu. Pada titik ini anak bisa belajar dari orang tuanya. Dengan kata lain, orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak mereka—bagaimana mereka peka dan menghidupi panggilan Allah itu dalam kehidupan sehari-hari.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Klik tautan di bawah ini untuk mendengarkan versi audio:

Foto: Unsplash/Freddy K.