Memperjuangkan Berkat

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Kisah pertemuan Yakub dan Allah di tepi sungai Yabok menampilkan banyak nama (Kej. 32:22-32). Yakub bukanlah nama yang bermakna baik. Yakub berarti ”penipu”—makna kiasan dari ”memegang tumit seseorang”.

Itu namanya, itu pula yang dilakukannya. Dia menipu Ishak ayahnya guna memperoleh berkat sulung, yang membuat berang Esau kakaknya. Kisah penipuan itu menjadikannya pelarian di negeri asing.

Sebenarnya, Esau sendiri tak begitu memedulikan hak kesulungan. Dalam peristiwa kacang merah, dia menjual haknya sebagai anak sulung demi perut. Dia menganggap remeh hak kesulungan—anugerah Tuhan yang terkandung dalam dirinya.

Yakub bisa menggunakan ketakpedulian Esau sebagai dalih. Namun, tujuan menghalalkan cara tak bisa diterima dalam budaya mana pun. Apa pun alasannya, orang tak suka ditipu!

Di tepi Sungai Yabok, Yakub tak bisa menyembunyikan keresahannya. Kesalahan masa lampau itu terus membayangi diri. Semua hadiah yang disiapkan untuk meredakan kemarahan Esau tak bisa menyirnakan resah di hatinya.

Bahkan, setelah bergumul dengan Allah, Yakub pun terpaksa menyebutkan namanya lagi. Nama yang membuat dia teringat kesalahannya—yang membuatnya takut setengah mati.

Israel

Allah mengubah namanya menjadi Israel karena, ”telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan menang.” Dari ”penipu” menjadi ”pejuang yang menang”.

Di mata Allah, Yakub seorang pejuang. Dia memperjuangkan berkat. Dia tidak mau melepaskan Allah sebelum memperoleh berkat. Yakub sadar tak ada yang dapat dijadikan andalan kecuali Allah semata. Dirinya pun tidak.

Penipuan yang dilakukannya itu merupakan bukti pengandalan diri sendiri dan hanya berbuah ketakutan. Selama dua puluh tahun dalam pengembaraan Yakub dibayang-bayangi dendam kakaknya.

Dia pun belajar, pengandalan diri sendiri hanya akan menjadikannya korban dari pengandalan diri orang lain. Di negeri asing Yakub kena batunya. Laban, Sang Mertua, menipunya. Sang Penipu kena tipu.

Yakub tak tinggal diam. Dia membalas penipuan mertuanya itu dengan penipuan pula. Ujung-ujungnya Yakub melarikan diri dari rumah mertuanya. Pengandalan kepada diri sendiri senantiasa bermuara pada ketakutan akan balasan pihak lain.

Dalam perjalanan pulang ke negerinya, Yakub sadar dia tak perlu lagi mengandalkan diri sendiri. Itulah sebabnya dia tidak melepaskan Allah sebelum menerima berkat. Yakub tahu, tak ada pribadi yang dapat melepaskannya dari semua keresahan itu kecuali Allah sendiri.

Kemenangan—yang terkandung dalam nama Israel—bermakna bahwa Yakub telah berubah perangai. Ia mampu mengalahkan dirinya sendiri untuk takluk kepada Allah. Yakub menempatkan dirinya di bawah Allah. Nama adalah identitas. Perubahan nama berarti pula perubahan hakikat diri. Dari ”mengandalkan diri sendiri” menjadi ”mengandalkan Allah”.

Pniel

Israel—nama baru Yakub—lalu menamai tempat pergumulan dengan Allah itu Pniel ’wajah Allah’. Pniel juga bisa berarti bahwa Allah adalah Pribadi yang menemui manusia. Bukan Yakub yang menemui Allah. Allahlah yang melawatnya. Allahlah yang mengambil langkah pertama.

Kisah di Pniel memperlihatkan bahwa Allah peduli. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang luput dari perhatian Allah. Allah mengerti keresahan Yakub akibat tindakan masa lampaunya. Allah menolong Yakub untuk lebih mengandalkan-Nya, ketimbang dirinya sendiri. Dan ketika Yakub bersikukuh memohon berkat, Allah memberikannya. Kesannya, berkat itu diberi karena Yakun memaksanya. Namun, sebenarnya Yakub tak bisa memaksa Allah. Ia hanya bisa memasrahkan diri kepada Allah.

Sekali lagi, Yakub sedang memperjuangkan berkat. Mengapa? Karena apalah manusia tanpa berkat. Yakub tahu, dia hanya bisa berharap pada belas kasihan Allah. Itu jugalah Yang dinyatakan pemazmur: ”Tetapi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajah-Mu, dan pada waktu bangun aku akan menjadi puas dengan rupa-Mu” (Mzm. 17:15).

Memperjuangkan Berkat bagi Orang Lain

Belas kasihan Allah. Itulah yang diperlihatkan Yesus Orang Nazaret. Dan belas kasihan Allah itu jugalah yang hendak ditularkan kepada para murid-Nya untuk bertindak magis. Magis (dibaca mahgis) adalah istilah Latin berarti lebih, yang diperkenalkan Ignatius de Loyola. Para murid mengusulkan untuk menyuruh orang banyak itu pulang agar bisa cari makan masing-masing, tetapi Sang Guru berkata, ”Kamu Harus memberi mereka makan.” Pada titik ini Yesus mengajak para murid untuk memperjuangkan berkat bagi orang lain.

Mungkin di sinilah letak persoalan para murid: ”Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan” (Mat. 14:17). Dalam konsep Kerajaan Allah, lima roti dan dua ikan itu pun  sejatinya milik Allah. Mereka hanyalah orang-orang yang dititipi lima roti dan dua ikan itu. Dan benar, ketika mereka rela mempersembahkan apa yang sejatinya merupakan milik Allah itu, mukjizat pun terjadi.

Pada titik ini agaknya kita pun perlu belajar bahwa semua pemberian kita adalah milik Allah semata. Dan ketika kita memberi dalam konteks sembah kepada Allah, maka mukjizat pun terjadi. Dan ketika kita memahami bahwa semua yang kita miliki adalah milik Allah, maka aneh rasanya jika kita segan memberi!

Karena semua yang ada pada kita adalah milik Allah, maka menjadi penting bagi kita untuk tidak main-main dengan apa yang ada pada kita. Tampaknya, kita perlu sungguh-sungguh bertanya sekarang ini: ”Apa yang ada pada kita?” Lalu, ”Bagaimana sikap dan tindakan kita terhadapnya?” Selanjutnya, ”Apakah kita telah sungguh-sungguh mengelolanya?” Seterusnya, ”Apakah kita telah mempersembahkannya kepada Allah?”

Ambil satu contoh: pekerjaan! Bagaimanakah sikap dan tindakan kita terhadap pekerjaan kita? Apakah mensyukurinya karena masih bisa bekerja atau merasa begitu-begitu saja dan ingin mendapatkan tantangan yang lebih besar, tentu dengan gaji yang lebih besar? Sejatinya, pekerjaan adalah titipan Allah Tuhan kepada kita. Kita dititipi pekerjaan. Lalu, bagaimanakah kita mengelola pekerjaan kita? Dengan seadanya atau dengan penuh antusias?

Ya, kata ”antusias” berasal dari bahasa Yunani: en + theos, yang berarti di dalam Tuhan. selanjutnya apakah kita telah mempersembahkan pekerjaan kita kepada Allah? Sembah kepada Allah! itu berarti dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh hormat!

Berkait dengan karya, Paulus adalah salah satu pribadi yang senantiasa bertindak magis, bertindak lebih. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma dia menulis: ”Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati. Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani” (Rm. 9:1-3).

Intinya adalah Paulus ingin bertindak lebih. Dia ingin semakin banyak orang merasakan belas kasihan Allah itu. Dia ingin memperjuangkan berkat Allah bagi orang lain! Bagaimana dengan kita? Amin.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Istimewa