Menyikapi Kesunyian

Published by Admin on

Pernah, pada masa tertentu, kesunyian adalah hal yang lumrah. Waktu itu suara bising merupakan gangguan. Akan tetapi, sekarang bising adalah keadaan yang biasa dan anehnya kesunyian telah menjadi gangguan yang besar. Kita telah asing terhadap rasa sunyi. Kalau kita pergi ke pantai, berjalan-jalan ke hutan atau ke gunung sering kali kawan kita yang paling penting adalah musik. Mungkin harus kita katakan bahwa kita tidak tahan mendengarkan suara kesunyian.

Kesunyian itu penuh dengan suara. Suara angin yang mendesir, dedaunan yang menggerisik, burung-burung yang mengepak-ngepakkan sayapnya, ombak yang berderai. Kalau suara-suara itu tidak terdengar, masih ada embusan nafas manusia yang tenang, elusan tangan yang lembut; ada suara ketika orang menelan air liurnya, ketika orang melangkah pelan. Namun, kita sudah tuli terhadap suara-suara kesunyian itu.

Kalau seseorang ditawari untuk mengganti kebisingan atau hiruk-pikuk dengan kesunyian, tawaran itu sering kali menakutkan. Ia merasa dirinya seperti anak kecil yang melihat tembok rumahnya lenyap dan tiba-tiba berada di tengah lapangan yang luas, seperti burung yang dihalau dari sarangnya. Telinganya terasa sakit karena suara-suara yang sudah biasa tak ada lagi. Tubuhnya merasakan kebutuhan akan suara yang dapat menyelimutinya dan memberi kehangatan. Orang yang dimasukkan dengan cara itu ke dalam kesunyian tak ubahnya seperti orang yang kecanduan, yang harus menjalani proses penyembuhan yang menyakitkan.

Kesunyian bisa menjadi ancaman atau gangguan. Orang tidak tahu  bagaimana menghadapi kesunyian. Saat meninggalkan kebisingan kota dan sampai di suatu tempat sunyi tanpa deruman kendaraan, tanpa suara musik, tanpa hiburan dari radio, televisi, atau handphone, jauh dari akses internet, seluruh diri terasa dikuasai oleh rasa gelisah yang sangat kuat. Berada di kesunyian bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke daratan, seperti kehilangan tempat berpijak.

Memang sulit membebaskan diri dari kebisingan luar, tetapi masih lebih sulit masuk ke dalam keheningan batin, keheningan yang dirindukan oleh setiap manusia. Tampaknya orang yang terjerat dalam hiruk pikuk berbagai suara itu telah kehilangan kontak dengan diri—batinnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam batin tinggal tak terjawab. Perasaan-perasaan yang tak menentu tidak dijernihkan dan keinginan-keinginan yang menyasar tak diluruskan, perasaan-perasaan yang membingungkan tidak dipahami. Kalau demikian yang ada adalah setumpuk perasaan yang kacau yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk disembuhkan. Karena orang itu terus-menerus membiarkan dirinya ditarik  dan diganggu oleh dunia yang selalu menarik dan menuntut perhatiannya.

Karena itu, tidak mengherankan kalau seluruh hiruk pikuk hidup sehari-hari meskipun sudah dibuat diam, masih terdengar suara lain yang keluar dari semua perasaan yang samar-samar, yang berteriak meminta perhatian. Orang yang masuk ke dalam ruangan yang tenang, belum tentu mengalami keheningan  batin. Kalau tidak ada lagi orang yang diajak berbicara, tidak ada lagi orang yang harus didengarkan, mulailah percakapan batin yang hampir tidak mungkin dielakkan. Banyaknya soal yang harus diselesaikan, banyaknya urusan yang minta diperhatikan, banyaknya kekecewaan tertahan yang berebut memperdengarkan keluhannya, semua itu bisa menjadikan orang tak berdaya dalam kesendirian.

Kesulitan mengalamai keheningan batin, masalahnya bukan apakah orang dapat hidup tanpa teman atau tanpa sesuatu untuk dilihat dan didengarkan. Melainkan, ada banyak orang yang tidak tahan tinggal dalam kesendirian, memejamkan mata agar dengan halus dapat menyingkirkan berbagai suara lalu duduk tenang menghadapi kesunyian.

Memasuki kesunyian atau keheningan batin dengan mengandalkan kekuatan sendiri adalah tidak mungkin. Untuk itu rasanya tidak berlebihan kalau kita perlu bertanya seperti Ibu Maria, ”Bagaimana mungkin hal itu mungkin terjadi?” (Luk 1:34). Bagaimana kita bisa menyikapi kesunyian bukan sebagai gangguan atau ancaman? Bagaimana kita bisa tenang menghadapi kesunyian dan memasukinya? Bagimana cara masuk dalam kesunyian dan menghadapi berbagai ketakutan ketika mamasuki diri batin kita? 

Masuk dalam kesunyian dan hening, berada dengan diri sendiri, sama sekali lain dengan tidur. Bahkan hening berarti sepenuhnya berjaga, mengikuti dengan penuh setiap gerak yang terjadi dalam batin. Hening mengandaikan disiplin diri yang membuat orang mampu melihat bahwa dorongan untuk berdiri dan pergi sebagai godaan untuk mencari di tempat lain hal yang sebenarnya ada di dekatnya. Hening adalah kebebasan untuk berjalan mengelilingi kebun kehidupan sendiri di halaman ruang batin, menyapu daun-daun yang berserakan dan membersihkan jalan-jalannya, sehingga kita dapat menemukan rumah damai.

Mungkin kita akan dihinggapi rasa takut dan ketidakpastian ketika pertama kali kita masuk ke dalam kebun kehidupan kita yang tidak biasa kita kunjungi. Kita dapat mengatasi ketakutan itu dengan mau menerima kata-kata malaikat yang ditunjukkan kepada para gembala yang ketakutan, yang juga diucapkan oleh Tuhan yang bangkit kepada para murid-Nya: ”Jangan takut!”

Jangan takut membawa rasa benci, pahit, kecewa kita kepada Dia yang menyatakan diri sebagai Kasih. Juga kalau kita tidak mempunyai banyak hal untuk ditunjukkan, malah banyak hal rasanya ingin kita sembunyikan dari-Nya, jangan takut untuk membiarkannya dilihat. Jangan takut akan Dia yang adalah Kasih, yang ingin masuk ke dalam ruang kehidupan kita.

Dalam hening perlahan-lahan dan pasti kita mulai merasakan berkembangnya damai dan rasa krasan, yang mendorong kerinduan hati kita untuk tinggal di rumah. Dengan keyakinan baru semacam ini, kita menangkap kembali makna kehidupan kita dari dalam. Bersamaan dengan pemahaman akan ruang batin—di mana perasaan cinta dan benci, kelembutan dan kepedihan, pengampunan dan keserakahan dipisahkan, dikuatkan atau dibentuk kembali—terbinalah kemampuan untuk menguasai yang berpegang pada tangan yang halus. Di bawah penyelenggaraannya yang lembut, seseorang dapat menjadi tuan kembali atas rumahnya sendiri. Tidak hanya kala ia jaga, tetapi juga kalau ia tidur. Tidur bukan lagi kegelapan yang seram, tetapi tirai yang bening. Di balik tirai itu mimpi-mimpi tetap hidup dan mengirimkan pesan-pesan yang dengan penuh syukur diterima. 

Ringkasnya ada dua macam kesunyian, yang satu menakutkan, yang lain membawa damai. Ada dua cara menyikapi kesunyian. Pertama, dengan menghindar dari kesunyian, berharap bisa menemukan ketenangan dalam kebisingan, meski kita tahu bahwa ketenangan tidak pernah ditemukan di sana. Sebab suara-suara dari luar terus-menerus menarik perhatian kita dan kegelisahan dari dalam terus-menerus menggganggu kita.

Kedua, menerima kesunyian sebagai jalan masuk dalam keheningan. Keheningan inilah yang membawa damai dan menghunjukkan doa, karena membawa kita kembali kepada Dia yang memimpin jalan hidup kita.

Dalam keheningan kita lepas dari nafsu-nafsu tidak teratur dan mengalami diri sebagai pribadi yang mandiri yang dapat hidup bersama dengan hal-hal lain dan orang lain. Lalu kita sadar bahwa kita dapat mengerjakan banyak hal, namun itu bukan yang paling penting. Kita menemukan jati diri kita tidak sama dengan apa yang kita kerjakan atau apa kata orang. Namun, dibangun dari keheningan di mana kita mengakui sebagai orang yang ”miskin dalam batin” sekaligus beroleh rahmat masuk ke dalam rumah kasih-Nya. Sebab, ”Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah jerih payah orang yang membangunnya” (Mzm. 127:1).

Tyas Budi Legowo

Foto: Fauzan Evan dari Pixabay