Pencobaan di Padang Gurun

Kisah pencobaan berakhir dengan kemenangan Yesus Orang Nazaret. Atas tiga cobaan, Yesus tidak pernah tergoda untuk menggugu keinginan Iblis. Ia teguh pada pendiriaan-Nya. Tidak goyah. Ia bergeming. Karena itu, Iblis mundur.
Namun, alasan Iblis mundur bukanlah karena merasa kalah, bukan pula karena tahu bahwa pendirian Yesus tak mungkin goyah. Namun, sepertinya Iblis merasa saatnya tidak tepat. Ini cuma soal waktu.
Perhatikan catatan Lukas: ”Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia meninggalkan Dia sampai tiba waktu yang baik” (Luk. 4:13). Perhatikan ungkapan ”sampai tiba waktu yang baik”. Jika terhadap Yesus saja, Iblis merasa hanya soal waktu untuk menang; bagaimana pandangannya terhadap kita?
Lukas tampaknya memperlihatkan Iblis sebagai pribadi sabar. Buktinya, dia mau menunggu, tidak grasah-grusuh. Bukan karena memiliki paham alon-alon asal kelakon, tetapi karena punya rencana matang.
Menunggu saat yang baik tidak berarti termangu, diam, dan berpeluk tangan. Tidak. Menunggu saat yang baik berarti tetap waspada, penuh konsentrasi, dan tidak lengah.
Sikap Kita
Jika memang demikian, bagaimanakah semestinya kita bersikap? Pertama, waspada. Jangan lengah sedetik pun. Saat kita lengah, Iblis akan langsung menyambar kesempatan itu.
Logisnya, manusia memang harus lebih waspada ketimbang Iblis. Sebab, Iblis berada pada posisi menyerang. Oleh karena itu, tingkat kewaspadaan pada pihak yang diserang haruslah tinggi.
Kedua, rendah hati. Jangan sok kuat! Jangan sekali-kali kita berkata, baik terucap maupun dalam hati, ”Saya tidak mungkin jatuh!” Kesombongan macam begini hanya akan membuat kita lengah.
Ketiga, meneladan Yesus Sang Guru.
Meneladan Yesus
Cobaan pertama berfokus pada perut. Dalam kondisi lapar, Iblis berkata, ”Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah batu ini menjadi roti” (Luk. 4:3). Jelaslah, cobaan datang bukan kala segala sesuatu berlangsung baik. Kelaparan—juga situasi ekstrem lainnya—kadang menjadi dalih sah bagi manusia untuk bertindak jahat.
Iblis tahu, Yesus tak mungkin berbuat jahat. Karena itu, ia tidak meminta Yesus untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Dia mencobai integritas Yesus. Alur pikir Iblis begini: Yesus lapar dan Dia punya kuasa; lalu, apa salahnya mengubah batu menjadi roti? Tidak merugikan orang lain bukan? Tukang roti jelas tidak akan rugi karena roti itu hanya dimakan sendiri.
Namun demikian, Yesus tidak tergoda untuk mengikuti alur pikir Iblis. Perut keroncongan bukan alasan kuat untuk mengubah batu menjadi roti. Yesus juga tidak tergoda untuk membuktikan jati diri-Nya. Alur pikir Yesus: Dia tetap Anak Allah, meski tak mengubah batu menjadi roti.
Cobaan kedua berfokus pada kuasa. Dalam konsep Iblis, kuasa itu ada harganya, yakni menyembah Iblis. Bisa dipahami, ada pejabat mengeruk keuntungan karena merasa telah mengeluarkan modal demi jabatan itu. Pada titik tersebut, orang itu tak lagi menuankan Tuhan, melainkan Iblis.
Yesus berpikir lain soal kuasa. Iblis sanggup memberikan kuasa, tetapi Allah Sang Mahakuasa. Menurut Yesus, kuasa merupakan anugerah. Jika kita mengakui kemahakuasaan Allah, kita akan terhindar dari pencarian kuasa. Dengan tegas Yesus berkata, ”Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau beribadah!” (Luk. 4:8).
Cobaan ketiga berfokus pada pembuktian janji Allah. Dengan menyitir Mazmur 91:12—”Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk batu”—Iblis meminta Yesus untuk menjatuhkan dirinya dari puncak Bait Allah. Dengan kata lain, Iblis hendak berkata, ”Bukankah Bapa telah berjanji akan menyelamatkan Engkau! Inilah saatnya membuktikan janji-Nya!”
Iblis mencobai manusia untuk membuktikan kasih Allah. Dia mencobai manusia untuk membuktikan kesetiaan Allah. Dia mencobai manusia untuk mencobai Allah. Dan untuk cobaan kayak begini, tanggapan Yesus: ”Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (Luk. 4:12).
Alur Pikir Alkitabiah
Menarik disimak, Iblis tidak mencobai manusia dalam kawasan hitam-putih, melainkan abu-abu. Cobaan Iblis kepada Yesus sekilas mata tak ada yang salah. Apa salahnya mengubah batu menjadi roti kala lapar, apa salahnya berkuasa, apa salahnya membuktikan apakah Tuhan mengasihi atau tidak?
Kita perlu hikmat di sini. Caranya? Kembangkanlah alur pikir alkitabiah, bukan ayatiah! Pahamilah ayat secara benar, utuh, menyeluruh, dan seimbang. Jangan sepotong-sepotong!
Dan sejatinya, menurut Paulus: ”Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu” (Rm. 10:8). Dalam Bahasa Indonesia Sederhana tertera: ”Berita yang disampaikan oleh Allah itu dapat engkau akui dengan mulutmu dan engkau terima di dalam hatimu.” Persoalannya: apakah kita mau menerima firman Allah dan menjadikannya pusat hidup kita. Itu berarti menjadikan Allah sebagai pusat hidup kita!
Kalau kita teliti, cobaan kepada Yesus Orang Nazaret bermuara pada dua hal: menjadikan Allah Bapa atau diri sendiri sebagai pusat. Dan perintah kepada umat Israel untuk mempersembahkan hasil pertama (Ul. 26:1-11) sebenarnya merupakan tindakan nyata umat Israel menjadikan Allah Bapa sebagai pusat hidup. Yesus dalam pencobaan tadi jelas tidak mengutamakan ego-Nya, dan menjadikan Bapa sebagai pusat hidup-Nya.
Bagaimana dengan kita?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa