Pengharapan dan Keputusasaan dalam Hubungan Antarpribadi
Kita baru mengetahui pengharapan setelah kita merasakan keputusasaan yang sebenarnya. Keputusasaan terkait sekolah Kristen bisa menjadi pintu masuk untuk mengenali keputusasaan di berbagai tingkatan. Nouwen menyebut bahwa sekarang ini kita mengalami tiga tingkatan keputusasaan, yaitu dalam hubungan antarpribadi, dalam pengertian seluruh dunia, dan di dalam Gereja. Pembahasan ketiganya dikaitkan dengan pengharapan yang diberikan Yesus di luar makam keputusasaan-Nya.
Keputusasaan dalam hubungan antarpribadi itu tampak ketika kita semua berjuang dengan kesendirian kita. Kita merasa terasing. Kita sepertinya tidak lagi mempunyai perasaan kerasan tinggal d rumah. Kita mencarinya di dalam perkawinan kita, pergaulan kita, dan komunitas kita. Dengan cemas kita mencari perasaan saling memiliki, saling mendukung, dan kebersamaaan. Seruan untuk mendapatkan dukungan ini sering disuarakan di dalam peristiwa kekerasan.
Kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan perasaan memiliki besar sekali. Kerinduan itu cukup mendalam sehingga kita ingin melakukan segala sesuatu supaya kerinduan itu terpenuhi. Akan tetapi, kita sering mengakhirinya dengan tidak hanya saling menyakiti, tetapi juga saling menghancurkan. Perkawinan, persahabatan, seksualitas, dan keakraban semuanya sedang mengalami krisis. Di dalamnya rentan terjadi benturan-benturan yang bisa mengakibatkan perpecahan dan kesepian yang besar, meskipun kita sudah mencoba memperbaikinya dengan sekuat tenaga. Itulah yang disebut dengan keputusasaan.
Bagaimana cara mendapat kebebasan di tengah keputusasaan hubungan antarpribadi itu? Bayangkan di luar makam keputusasaan-Nya, Yesus mendatangi kita. Ia menemui kita, mengatakan inti perutusan-Nya, ”Supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Dan lagi, ”Aku mengasihimu dengan segenap hati ke-Allahan-Ku. Aku memelukmu dengan segala yang ada pada-Ku. Aku memberikan diri-Ku yang paling dalam. Aku ingin kamu tinggal di dalam pelukan kasih-Ku yang abadi. Di sinilah kamu menemukan tempat tinggalmu. Aku telah membuat rumah-Ku menjadi tempat tinggalmu. Kamu boleh tinggal di dalam Aku.”
Dengan kasih yang berfungsi sebagai pondasi, kita bersama-sama orang lain bisa membangun sebuah persekutuan. Kita dapat saling menjalin kebersamaan dalam kesetiaan karena kita saling berakar pada kasih Allah. Saya sebagai cerminan terbatas, sebagian-sebagian, dan hancur dari kasih yang tak terbatas, utuh, dan menyeluruh.
Jika saya berkata, ”Aku mengasihi kamu,” yang sebetulnya saya katakan adalah bahwa kita saling bekomunikasi dengan kasih yang sudah terbagi-bagi dan terbatas yang berasal dari kasih yang tak terbagi-bagi dan tak terbatas. Anda tetap manyapa saya kembali dengan kasih Allah itu. Saya juga menyapa Anda dengan cara yang sama. Itulah perkawinan. Itulah persahabatan. Itulah komunitas. Dalam hal ini, kita saling menyapa dengan kasih Allah. Kita saling berkata , ”Kita adalah manusia yang hancur, tetapi kita dipeluk oleh Seseorang yang berkata, ”Jangan takut, Aku mengasihimu. Dan kamu beroleh selamat.”
Seluruh kehidupan spiritual dapat dilihat sebagai kehidupan di mana kita menyatakan kembali kasih pertama Allah itu. Doa, kontemplasi, meditasi, kesunyian, dan keheningan—semua berarti membangun kesadaran akan suara dari dalam hati kita yang berkata, ”Aku mengasihimu jauh sebelum kamu dapat saling mengasihi. Aku menerima kamu sebelum kamu dapat saling menerima. Aku telah menggendong kamu sebelum kamu dapat saling menggendong.” Inilah cara bagaimana kita mendapatkan kebebasan.
Kebebasan itu akan datang jika dari hati kita tahu bahwa kita dikasihi. Jika kita dapat menerima dan percaya bahwa kita dikasihi dan dipeluk tanpa syarat. Kita dapat pergi ke mana saja di dunia ini dan tidak akan merasa sendirian. Inilah sebuah perjuangan, tetapi jika kita mengalaminya, kita akan tahu apa yang dimaksud Yesus ketika Ia berkata, ”Kamu akan meninggalkan Aku sendirian, tetapi Aku tidak akan sendirian karena Bapa bersama Aku” (bdk. Yoh. 16:32).
Tyas Budi Legowo
Foto: Istimewa