Pengharapan dan Keputusasaan Tingkat Global
Nouwen melihat adanya keputusasaan tingkat global berdasarkan fakta mengenai kekaguman kita yang besar sekali akan kehancuran dan kematian. Banyak negara di dunia menghabiskan bermiliar-miliar dolar untuk membangun persenjataan yang, jika digunakan, akan memusnahkan berjuta-juta manusia, mungkin bisa seluruh bumi. Ada kekaguman yang besar sekali atas kekuatan itu yang bisa mengakibatkan kita melenyapkan hidup kita. Kita juga bisa merasa bangga disuguhi dengan tontonan atau informasi kehebatan Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia (Alutsista). Berdasarkan data Global Firepower tahun 2023 kekuatan militer negara Indonesia menduduki peringkat ke – 13 dari 145 negara di dunia.
Di dunia hiburan, melalui layar media massa, cukup banyak kita disuguhi dengan permainan-permainan kematian. Orang-orang yang menyaksikan tontonan itu ingin terpuaskan keingintahuannya, ”Apakah dia akan melakukannya?” Ada potensi penghancuran di mana-mana. Seolah-olah seluruh dunia merupakan tokoh di dalam sirkus tanpa jaring-jaring pengaman. ”Akan berhasilkah atau gagalkah kita? Bukan main, sungguh menggembirakan!” Demikian andrenalin kita dipermainkan.
Kadang-kadang kelihatan bahwa kita lebih memilih mati yang membawa kenikmatan daripada hidup terus dalam ketegangan. Sesuatu yang ada pada diri kita digoda supaya memiliki kematian karena setidak-tidaknya kita tahu apa yang akan kita dapatkan. Mungkin kita telah melihat orang-orang yang hidup seolah-olah mereka seimbang di pinggir jurang yang dalam. Mereka menderita kecemasan, tidak tahu apakah mereka berhasil. Akhirnya, mereka mencari jalan keluar dengan bunuh diri. Setidak-tidaknya itu sudah berlalu, ketegangan sudah reda.
Akan tetapi, Yesus mengatakan ”tidak” untuk kematian. Kita dapat melihat ketika Yesus berjalan dengan murid-murid-Nya ke Emaus. Ia berkata, ”Ya!” untuk kehidupan. Ia berkata mengenai kehidupan ketika perhatian murid-murid Yesus tertuju pada kematian. Anda dan saya dipanggil untuk mengatakan ”tidak” untuk kematian. Itu tidak perlu berarti bahwa kita harus ikut berdemonstrasi untuk melancarkan protes meskipun secara tidak langsung. Untuk mengawalinya berarti kita harus mengatakan ”tidak” untuk kematian, sekecil apa pun bobotnya di sekitar kita.
Hampir selalu, kematian kecil-kecilan ini diawali dengan penghakiman. Dalam penghakiman, kita menghubungkan ketakutan kita dengan cara menempatkan orang-orang lain dalam kotak-kotak kecil, menganggap mereka telah mati.
”Oh, saya tahu dia,” demikian kita berkata, “Saya tahu tipe dia. Dia tidak layak untuk berbicara.” Pada titik ini kita mengambil posisi bahwa kehidupan baru tidak mungkin lagi dalam hubungan kita dengan orang lain. Menghakimi orang lain berarti kita mencegah diri kita dari melihat mereka sebagai saudara dan mencegah untuk membangun komunitas bersama mereka. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Janganlah menghakimi” (Mat. 7:1).
Kita juga harus mengakhiri sikap menghakimi diri sendiri karena kita telah menaruh diri sendiri ke dalam kotak itu. Kita berkata, ”Jangan harap saya bisa berubah. Saya tidak bisa melakukan hal-hal yang baru atau yang berbeda dengan yang sudah biasa saya lakukan.” Penolakan diri sungguh merupakan langkah menuju kematian. Tindakan ini dapat mengakibatkan bunuh diri baik secara fisik, psikologis, ataupun spiritual.
Penghakiman model ini berlangsung di dalam diri kita, orang lain, dalam komunitas, bahkan antarbangsa. Kita telah memiliki pandangan tentang kelompok atau negara tertentu. Seakan-akan kita tahu pasti bahwa kelompok atau negara tertentu tidak dapat dipercaya. Hal semacam itu telah menjadi keputusan kita untuk waktu yang akan datang dan proses yang sama pun berlangsung di dalam hati ”musuh-musuh” kita. Meski sulit, kita dipanggil untuk percaya bahwa kehidupan baru dapat muncul di dunia yang penuh dengan kecurigaan, kekerasan, penghancuran, dan perang.
Kehidupan itu selalu kecil, selalu lemah. Tidak pernah berteriak atau menjerit. Kehidupan selalu hanya membutuhkan perlindungan dan bimbingan. Mengatakan ”ya” untuk perlindungan dan bimbingan berarti mau melihat kehidupan yang kecil itu dapat dilahirkan kembali di dalam hati, tubuh, dan pikiran kita, dan di antara banyak orang. Sementara itu, kematian itu selalu mewah, bersinar, selalu besar dan bersuara keras.
Karena kehidupan itu kecil sekali, kita tak akan pernah mampu melihat kapan terjadi. Kita tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya pohon tumbuh. Kita tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya seorang anak tumbuh. Pertumbuhan itu lembut dan halus. Pada dasanya kehidupan itu tersembunyi. Kehidupan itu kecil, minta diperhatikan dan dilindungi terus-menerus. Jika kita berjanji untuk mengatakan ”ya” untuk kehidupan, kita harus memilihnya ketika masih tersembunyi.
Kehidupan yang lemah dan tersembunyi bisa dikenali dalam komunitas orang kecil, miskin dan lemah. Itulah tempat di mana tidak ada persaingan dan jiwa yang rapuh cenderung menghakimi disembuhkan.
Namun, bagi dunia, itulah ”tempat yang tidak dikehendaki” (bdk. Yoh. 21:18). Untuk menuju ke tempat itu kita perlu menjadikan setiap langkah perjalanan hidup kita sebagai langkah bersama Yesus. Jalan itu dapat dijalani dengan penuh pengharapan dan kegembiraan, ketika kita menyadari ada orang-orang yang mengajak kita menempuh jalan itu bersama-sama dalam ketaatan kepada Yesus.
Yesus tidak berkata, ”Berbahagialah orang yang melayani orang miskin.” Ia bersabda, ”Berbahagialah orang yang miskin” (Mat. 5:3). Tuhan mengasihi orang miskin dengan cara istimewa, yakni jalan salib. Jalan itu hanya dapat dilalui bersama Yesus yang sudah lebih dahulu sampai pada tempat yang tidak ada apa-apanya kecuali anugerah.
Tyas Budi Legowo
Foto: Istimewa