Pesan Yohanes Pembaptis

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Pada Minggu Adven ke-3, Yohanes Pembaptis mempunyai pesan yang layak untuk didengar. Pesannya masih relevan dikumandangkan hingga abad ke-21 ini!

Berbagi Sandang dan Pangan

”Siapa yang mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan siapa saja yang mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian” (Luk. 3:11).

Yohanes Pembaptis berbicara mengenai apa yang dimakan dan dipakai. Pada lambang negara kita lambangnya padi dan kapas. Jelas, anak Zakharia itu sedang membicarakan kebutuhan primer—yang dibutuhkan manusia untuk tetap menjadi manusia. Dia menegaskan pentingnya berbagi.

Bukan berarti kita nggak boleh punya baju cadangan. Bukan itu maksudnya. Namun, jangan sampai kita bingung mau pakai baju apa, sementara tetangga kita enggak punya baju pantas pakai. Lagi pula, orang tak mungkin memakai dua baju sekaligus!

Berkait makanan, manusia hanya perlu sepiring nasi sekali makan. Kalaupun nambah, paling banter hanya sepiring nasi. Lagi pula, kita jarang memasak segelas beras bukan? Ketimbang dibuang atau terbuang, ya lebih baik dibagikan kepada yang membutuhkan!

Jangan Korup!

Kepada para pemungut cukai, Yohanes Pembaptis berkata, ”Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan bagimu.” (Luk. 3:13). Tegasnya: jangan menyalahgunakan jabatan. Jangan korup!

Jabatan itu amanat, bukan alat untuk mengumpulkan kekuasaan dan menggunakannya demi kepentingan sendiri. Kalaupun dipahami sebagai alat, ya harus dipakai untuk kesejahteraan umum.

Kepada para prajurit yang bertanya, anak Zakharia itu menjawab, ”Jangan merampas dan jangan memeras siapa pun! Cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” Jelas maknanya: jangan menyalahgunakan wewenang dan cukupkan diri dengan gaji yang ada!

Masalahnya kerap di sini. Ketika seseorang memiliki senjata dia merasa lebih hebat dari orang lain dan cenderung mencari tambahan dengan menggunakan senjatanya. Tak ubahnya premanisme karena orang dipaksa membeli—setidaknya menyewa—keamanan. Masalahnya makin ruwet kala didalangi instansi resmi.

Yohanes Pembaptis menegaskan pentingnya rasa cukup. Manusia tentu boleh mempunyai keinginan, tetapi jangan ngoyo! Jangan sampai keinginan itu mendorong kita menjadi preman-preman baru, yang hobinya merampas dan memeras.

Membuahkan Damai

Tindakan-tindakan tadi akan membuahkan damai. Orang yang tak berpunya akan merasa damai. Masyarakat tak perlu takut berhadapan dengan pejabat karena mereka yakin pejabat itu bertindak benar dan adil. Orang kebanyakan tak lagi takut kepada tentara karena tidak ada penyalahgunaan wewenang.

Yang pasti, setiap pelakunya sungguh-sungguh akan merasa damai. Orang yang memberi tidak akan pernah merasa kurang baik sandang maupun pangan. Dia juga tidak merasa perlu khawatir terhadap harta miliknya karena takut kecurian.

Orang yang terbiasa memberi pastilah lebih damai ketimbang orang yang jarang memberi. Orang yang jarang memberi, akan merasa sungguh kehilangan jika ada barang yang lepas dari dirinya. Bukankah di mana harta kita berada, di situ pula hati kita?

Penyalahgunaan jabatan dan wewenang sejatinya akan menimbulkan keresahan dan kerusuhan dalam hati pelakunya. Mereka akan dihantui perasaan takut ketahuan. Itu pulalah yang membuat hatinya makin gelisah.

Belum lagi dengan kenyataan—ini dampak buruk reformasi ’98—mantan pejabat biasanya menjadi bulan-bulanan pejabat berikutnya. Saat menjadi pejabat orang gentar benar terhadap jabatannya. Baru setelah pensiun, orang mulai mengungkit-ungkit borok lama. Oleh karena itu, selama menjabat, jangan sekali-kali korup!

Mengapa?

Mungkin kita bertanya dalam hati: ”Mengapa kita melakukannya?” Jawabnya: karena Tuhan itu keselamatan kita dan Dia, Sang Mahakudus, berada di tengah-tengah kita (Yes. 12:1, 6). Kita melakukannya karena kita telah diselamatkan. Sekali lagi, karena Yang Mahakudus berada di tengah-tengah kita. Aneh rasanya, jika kita tidak melakukan apa yang baik padahal Yang Mahakudus ada di tengah-tengah kita.

Melakukan apa yang baik bukanlah hal yang luar biasa bagi umat percaya. Yang aneh, ketika mereka tidak melakukan apa yang baik. Sekali lagi karena Allah berada di tengah-tengah kita.

Itu jugalah pesan Nabi Zefanya kepada orang Israel yang telah pulang dari pembuangan. Mereka telah merasakan berkat Tuhan. Mereka telah dibebaskan. Dan karena itulah, jalan terlogis ialah melakukan apa yang diperintahkan Allah.

Israel yang baru pulang dari pembuangan menyadari bahwa mereka dibuang karena mereka tak lagi taat kepada Allah. Sehingga ketika mereka pulang dari pembuangan, jalan yang sudah semestinya ialah taat melakukan perintah Allah dengan sempurna.

Kepada jemaat di Filipi, Paulus mengingatkan: ”Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” (Flp. 4:4-7).

Kalimat yang mengesankan hati saya: ”Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang.” Jelas di sini, kebaikan hati memang harus nyata dalam tindakan. Kebaikan hati itu tidak bisa dalam hati. Juga bukan hanya kata, tetapi sungguh-sungguh nyata dalam perbuatan. Ya, apa gunanya jika kebaikan hati kita itu hanya dirasakan oleh diri kita sendiri?

Pesan Yohanes Pembaptis sederhana. Saking sederhananya, mungkin kita malah mengabaikannya. Padahal, segala hal besar dibangun oleh tindakan-tindakan sederhana.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa