Pola Hidup Kristiani

”Sesudah Yesus menyeberang lagi dengan perahu, orang banyak berbondong-bondong datang lalu mengerumuni Dia.” (Mrk. 5:21). Demikianlah catatan penulis Injil Markus. Yesus, Sang Guru dari Nazaret, sedang naik daun. Di mana dan kapan pun Ia menjadi pusat perhatian.
Orang banyak berbondong-bondong dan berkerumun di sekitar Yesus bak laron mengerubungi lampu. Mereka berdesak-desakkan di sekitar Yesus. Mereka ingin dekat Yesus. Motivasinya, tentu saja, beragam. Yang pasti: Yesus menjadi pusat perhatian.
Yesus Mengubah Perhatian
Namun, situasi itu tak berlangsung lama. Yesus—yang menjadi pusat perhatian—malah mengarahkan perhatian-Nya kepada Yairus. Yairus dalam situasi kritis. Di hadapan Yesus, sembari sujud, kepala rumah ibadah di Kapernaum itu memohon, ”Anakku perempuan hampir mati, datanglah kiranya dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, supaya ia selamat dan tetap hidup” (Mrk. 5:23).
Tindakan Yairus bukan tanpa risiko. Ia tahu kebanyakan ahli Taurat dan orang Farisi sangat menentang guru dari Nazaret itu. Namun, kepala rumah ibadat itu terang-terangan memercayai Yesus.
Yairus sengaja mendatangi Yesus hanya dengan satu tujuan: keselamatan anak perempuannya yang berumur dua belas tahun. Yairus menyerahkan dirinya pada belas kasihan Yesus. Ia pasrah bongkokan. Yairus agaknya menyadari bahwa Yesus orang Nazaret adalah satu-satunya jalan keselamatan anaknya.
Penulis Injil Markus mencatat: ”Lalu pergilah Yesus dengan orang itu.” (Mrk. 5:24). Yesus—yang menjadi pusat perhatian di pinggir Danau itu—malah mengarahkan perhatiannya kepada Yairus. Yesus tidak berkata, ”Nanti saja deh, saya lagi sibuk mengajar!” Tidak. Yesus langsung pergi. Bagi Yesus, anak perempuan Yairus adalah prioritas utama saat itu. Yesus lebih memedulikan puteri Yairus ketimbang diri-Nya sendiri. Inilah pola hidup kristiani, tidak menjadikan diri pusat, tetapi memusatkan perhatian kepada orang lain.
Yairus Mengubah Perhatian
Yairus pasti senang karena Yesus bergerak cepat. Yesus tidak menunda waktu untuk pergi ke rumahnya. Namun, apa mau dikata di tengah perjalanan terjadi peristiwa tak terduga. Peristiwa yang membuat perjalanan tertunda sejenak.
Di tengah perjalanan rombongan itu terpaksa berhenti karena Yesus merasa ada yang ”mencuri” kuasanya. Dan sang pencuri dalam tanda petik itu adalah perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun. Berbeda dengan Yairus, kita tak mengenal nama perempuan itu. Bukannya nggak punya nama, tetapi agaknya penulis Injil tidak terlalu merasa perlu memberitahukan nama perempuan tersebut. Bisa jadi itulah keadaan masyarakat Yahudi waktu itu.
Sebagai latar belakang, baiklah kita ingat bahwa dalam dunia Yahudi perempuan yang sakit pendarahan dianggap najis. Orang lain dilarang menyentuhnya karena akan ikut-ikutan najis. Kalau sudah begini, nama mungkin tak lagi penting. Sebab, buat apa tahu namanya. Kalau tersentuh malah berabe!
Yang lebih menggetirkan, seorang yang dalam keadaan najis tidak diperkenankan terlibat dalam ibadah—baik ibadah di rumah ibadah maupun di Bait Allah. Artinya: selama dua belas tahun terakhir ia tidak diperkenankan datang ke rumah ibadah. Selama itu pula ia tersingkir dari persekutuan umat Allah.
Bagaimana perasaan Saudara jika tidak diperkenankan beribadah selama dua belas tahun dan bukan karena kesalahan apa pun. Yang namanya penyakit dapat menimpa kepada siapa saja dan kapan saja bukan? Bayangkan jika kita berada pada posisi perempuan tersebut!
Ia bukannya tak berusaha. Namun, tak ada tabib yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Penulis Injil Markus mencatat: ”Ia telah banyak menderita di bawah perawatan banyak tabib, sehingga telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama sekali tidak ada faedahnya, malah sebaliknya keadaannya makin memburuk.” (Mrk. 5:26).
Dan persoalan lainnya, jika Yairus memohon agar Yesus meletakkan tangan-Nya atas anaknya, perempuan tak bernama itu tak mungkin menyatakan keinginannya. Sebab jika menyentuh dirinya, Yesus akan ikut-ikutan najis. Mungkin ia juga takut ditolak Yesus. Namun, perempuan yang sakit pendarahan itu percaya bahwa Yesus mampu menyembuhkannya, jika dia menyentuh jubahnya.
Sebagaimana Yairus, perempuan yang sakit pendarahan itu bergerak. Ia tidak diam. Kepercayaannya tampak saat ia bergerak, menyentuh jubah Yesus. Dan akhirnya dia sembuh.
Baik kepada Yairus maupun kepada perempuan tak bernama itu, kepedulian Yesus sama. Sang Guru dari Nazaret tidak membedakan orang. Yesus menerima permohonan kepala rumah ibadat yang dianggap saleh dan memberikan pertolongan kepada perempuan sakit pendarahan—yang dianggap najis pada masa itu.
Saya percaya bahwa tindakan Yesus, baik kepada Yairus maupun perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun itu, merupakan bukti, seperti yang diakui pemazmur tadi, bahwa pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan (lih. Mzm. 130:7). Persoalannya adalah apakah kita, sebagaimana Yairus dan perempuan yang sakit pendarahan itu, mau terus berharap dan menanti-nantikan Tuhan. Itu juga pola hidup kristiani.
Mari kita arahkan pandangan kepada Yairus! Bagaimana perasaannya kala Yesus menunda perjalanan-Nya ke rumahnya. Bisa jadi ia jengkel. Anaknya sudah sekarat. Ia memang tidak bisa berbuat banyak. Dan apa mau dikata, sebelum sampai ke rumah, ada utusan keluarga yang menyampaikan bahwa anak perempuannya telah tiada.
Kemungkinan besar Yairus kecewa. Kalau saja tak ada interupsi di tengah jalan, tentu anaknya selamat. Pada titik itu—sebelum kekecewaannya bertambah besar—Yesus menenangkannya. Yesus berkata kepada Yairus, ”Jangan takut, percaya saja!” Dan anaknya pun selamat.
Kemungkinan besar Yairus belajar untuk tidak bersikap egois. Tuhan memang peduli dengannya. Akan tetapi, Yairus tidak mungkin memonopoli kasih setia Tuhan hanya untuk dirinya sendiri. Kasih setia Tuhan memang untuk setiap orang. Yairus juga belajar untuk mengubah perhatian dari diri sendiri kepada orang lain. Yairus sepertinya belajar, kesusahan diri bukan alasan untuk tidak memperhatikan orang lain.
Dipanggil untuk Mengubah Perhatian
Ini jugalah panggilan kita. Kita dipanggil untuk bersikap seperti Yesus yang mau mengubah pusat perhatian dari diri sendiri kepada orang lain. Sekali lagi, ini jugalah pola hidup kristiani. Tentu saja, kasih Allah memang untuk kita, namun kita tak berhak memonopolinya.
Itu jugalah yang diingatkan Paulus kepada jemaat di Korintus. Paulus mengingatkan mereka akan janji iman mereka kepada jemaat di Yerusalem. Kemungkinan, jemaat di Korintus memang sibuk memikirkan diri sendiri hingga lupa akan jemaat di Yerusalem. Jemaat di Korintus mungkin merasa: ”Mikirin diri sendiri saja susah, malah disuruh memikirkan orang lain. Kita aja sedang susah, malah disuruh mikirin kesusahan orang lain.”
Kalau sudah begini, marilah kita camkan adagium ini: Jangan menunggu kaya dulu baru memberi. Kemungkinan besar kita nggak akan pernah memberi karena memang tidak akan pernah merasa kaya!
Tak heran, Paulus mengingatkan jemaat di Korintus bahwa mereka kaya dalam segala sesuatu—dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasih (lih. 2Kor. 8:7).
Jadi, mari memberi! Kita bisa mulai dengan memberi perhatian.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa