Pola Hidup Warga Kerajaan Surga
”Hal Kerajaan Surga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya” (Mat. 13:31-32).
Benih sesawi itu kecil saja, namun mempunyai potensi besar. Dan itu hanya mungkin terjadi ketika dia mau diambil dan ditabur orang di ladang. Seandainya biji sesawi itu tak mau diambil dan ditaburkan orang, apa yang terjadi? Ya, dia tetap kecil saja. Inilah yang dalam fisika disebut sebagai energi potensial. Energi yang belum tampak, belum terbukti, dan belum terlihat.
Biji sesawi itu hanya mungkin menjadi besar, dan berguna, bahkan menjadi pohon setinggi tiga meter, dan menjadi berkat bagi burung-burung karena bisa bersarang di cabangnya, hanya dan hanya jika dia mau memercayakan diri kepada Sang Penabur. Caranya, ya mau diambil dan ditaburkan. Inilah pola hidup kerajaan Allah yang ditawarkan Yesus Kristus. Intinya adalah apakah kita percaya kepada Sang Ilahi.
Hal yang sama dikatakan Sang Guru tentang ragi. Bayangkan, ragi yang sedemikian kecil bisa mempengaruhi 40 liter terigu. Itu hanya bisa terjadi ketika ragi itu mau berbagi. Dia harus memercayakan dirinya kepada wanita itu dan yakin bahwa dia tidak akan dibuang, tetapi digunakan untuk mengembangkan adonan.
Belajar dari Yakub
Intinya adalah percaya. Dan itu bukan perkara gampang. Dan, dari semua kejelekan Yakub, kita bisa belajar dari Yakub dalam Kejadian 29:15-28.
Ya, namanya adalah Yakub. Yakub berarti ”penipu”—makna kiasan dari ”memegang tumit seseorang”. Pada kenyataannya hidup Yakub memang penuh dengan muslihat. Dan di rumah Laban, Yakub kena batunya. Penipu ternyata ketipu. Laban yang telah berjanji akan memberikan Rahel sebagai upah, ternyata
Namun, di sini menariknya, tanggapan Yakub terhadap aksi penipuan yang dilakukan Laban. Ia tentu saja marah kepada Laban. Ia menyatakannya langsung kepada Laban. Dan ketika Laban memberitahukan alasannya, meski tak dapat dibenarkan, toh Yakub dapat menerimanya. Yakub tidak mengembalikan Lea kepada ayahnya karena ia tahu Lea pun cuma korban dari tipuan Laban. Yakub pun rela bekerja selama tujuh tahun lagi untuk upah mendapatkan Rahel.
Apa pelajaran yang bisa kita timba di sini? Sepertinya Yakub insaf bahwa sejatinya ia tak beda dengan Laban. Ia pun pernah menipu Esau dan ayahnya Ishak. Yakub pun tahu bahwa yang salah harus dihukum. Bisa jadi Yakub menerimanya sebagai pelajaran yang baik dalam hidupnya.
Berkait dengan penipuan Laban itu, Yakub tidak menghukum Laban. Ia sepertinya tahu bahwa Allah pasti tahu segalanya. Allah mengizinkan semuanya itu terjadi agar ia boleh lebih merasakan kuasa dan kasih Allah.
Itu pulalah yang dinyatakan Paulus kepada warga jemaat di Roma: ”Kita tahu bahwa Dia turut bekerja dalam segala sesuatu demi kebaikan orang-orang yang mengasihi Allah, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya” (Rm. 8:28). Artinya adalah Allah terlibat dalam segala sesuatu yang semuanya itu berujung pada kebaikan bagi orang-orang pilihan Allah. Sehingga, yang terpenting adalah tetap fokus kepada Allah.
Carilah TUHAN
Dalam Mazmur 105:4-6, pemazmur mengajak: ”Carilah TUHAN dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu! Ingatlah perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya, mujizat-mujizat-Nya dan penghukuman-penghukuman yang diucapkan-Nya, hai anak cucu Abraham, hamba-Nya, hai anak-anak Yakub, orang-orang pilihan-Nya!”
Mencari Allah berarti memfokuskan hati dan pikiran kita kepada Allah saja. Mengapa? Sebab Dialah sumber hidup dan kehidupan kita. Sehingga memfokuskan diri kita kepada Dia akan membuat kita sungguh hidup. Sekali lagi karena Allah adalah sumber hidup.
Tampaknya, pemazmur sengaja bicara soal mengandalkan kekuatan Allah. Meski percaya bahwa Allah sungguh Mahakuasa, kadang manusia masih mengandalkan kekuatannya sendiri. Mengapa? Karena memang itulah yang ada dalam kendalinya. Kekuatan Allah tentu di luar kendali manusia. Manusia sering juga malas menunggu waktu Allah. Yang akhirnya malah membuat manusia bergantung penuh pada dirinya sendiri.
Kelihatannya ada hubungan antara mengandalkan Allah dan mengingat karya Allah pada masa lampau. Dengan mengingat karya Allah dalam diri kita, kita ditolong untuk terus belajar mencari wajah-Nya selalu. Sebab waktu telah membuktikan bahwa Allah mampu dan mau menolong. Sehingga mencari wajah Allah sejatinya merupakan tindakan logis. Jika pada masa lampau Allah telah mau dan mampu menolong, kita boleh berani berharap pertolongan-Nya pada masa kini.
Pilihan Hidup
Itu jugalah yang terlihat dalam perumpamaan Yesus: ”Kerajaan Surga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamnya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu” (Mat 13:44).
Perumpamaan itu berkait dengan pilihan, prioritas, dan akhirnya keputusan. Orang itu jelas menghadapi dilema. Ia tidak bisa mendapatkan keduanya: harta terpendam dan harta miliknya. Ia harus memilih.
Ia memilih menjual seluruh miliknya untuk membeli ladang tersebut. Dan semuanya itu dilakukan karena sukacitanya. Sukacita menjadi alasan kuat bagi dia untuk mengambil keputusan yang sulit. Karena dia paham, harta yang terpendam itu lebih berharga ketimbang semua harta milikinya.
Inilah praktik hidup orang-orang pilihan Allah. Ini jugalah sejatinya pola hidup warga Kerajaan Surga.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Rembrandt_Harmensz.van_Rijn_027