Roh Tuhan Ada Pada-Ku

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Roh Tuhan ada pada-Ku, karena Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin. Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan.” (Luk. 4:18-19).

Tampaknya, Yesus, Sang Guru, berupaya untuk menjelaskan misi-Nya di sini. Jangan lupa, Ia telah menjadi sosok terkenal. Bisa dimaklumi ada orang yang bertanya-tanya tentang misi Sang Guru dari Nazaret itu. Dan Sang Guru tidak berupaya menyembunyikannya. Dia menjelaskan bahwa semua yang dilakukan-Nya itu bersumber pada Roh Tuhan.

Pensil di Tangan Allah

Jadi, jika Yesus melakukan banyak hal yang dianggap hebat, semuanya itu tidak bersumber dari kemanusiawian-Nya belaka, tetapi karena Roh Tuhan. Jadi, semua yang Yesus lakukan bersumber pada Roh Tuhan!

Dalam hal ini Yesus hendak mengajarkan bahwa semua hal baik itu tidaklah berasal dari manusia, tetapi Allah yang mengaruniakan kepada setiap orang untuk melakukannya. Manusia hanyalah alat. Kalau menggunakan istilah Bunda Teresa: ”Manusia hanyalah pensil di tangan Allah.”

Dan memang pensil itu hanya akan berguna jika mau dipakai. Pensil hanyalah pensil. Tidak akan bermanfaat apa pun, jika tidak dipakai untuk menulis. Dan pensil baru terasa gunanya jika dipakai untuk menulis oleh manusia. Pensil tidak bisa menggerakkan dirinya sendiri untuk menulis. Pensil akan memberikan kegunaannya kalau mau dipakai oleh Allah.

Dengan kata lain, Yesus hendak menegaskan bahwa setiap orang yang dikarunia Roh Tuhan, janganlah hanya diam berpangku tangan. Yesus tidak bertopang dagu. Guru dari Nazaret itu melakukan banyak hal! Tak hanya dengan omongan, juga dalam tindakan.

Itu jugalah panggilan kita sebagai murid Kristus. Beranikah kita juga berkata, ”Roh Tuhan ada padaku”? Berani? Kapankah Roh Tuhan ada pada kita? Dalam iman, kita dipanggil untuk percaya bahwa Roh Tuhan ada pada kita saat kita dibaptis. Sakramen baptis menunjukkan kelahiran baru. Dan karena itu, kita juga memiliki panggilan yang sama dengan Sang Guru, yakni memberitakan kabar baik.

Lalu, bagaimana caranya agar kita mampu memberitakan kabar baik? Cuma satu kata: belajar! Belajar tentang kabar baik. Jika tidak belajar, kita tak mungkin memberitakan apa-apa. Apa yang mau kita beritakan?

Belajar

Berkait belajar, kita bisa meneladan bangsa Israel pasca pembuangan. Marilah kita perhatikan kembali catatan Nehemia: ”Ketika tiba bulan ketujuh dan orang Israel telah menetap di kota-kotanya, berkumpulah serentak seluruh rakyat di lapangan di depan pintu gerbang Air. Mereka meminta kepada Ezra, ahli kitab itu, supaya ia membawa kitab Taurat Musa yang diberikan TUHAN kepada Israel.” (Neh. 8:1-2).

Kita bisa melihat bahwa secara spontan seluruh rakyat berkumpul. Mereka bukan hendak demonstrasi. Tetapi, mereka meminta Ezra, ahli kitab, untuk membacakan kitab Taurat bagi mereka. Mereka ingin mendengarkan Taurat. Lihatlah betapa antusiasnya mereka! Mereka ingin mengerti Taurat. Mereka ingin mengetahui apa yang Tuhan inginkan dari mereka.

Keinginan mereka ini cukup beralasan. Agaknya mereka sadar bahwa peristiwa pembuangan yang mereka alami bukanlah hanya karena Israel kalah perang. Tidak. Mereka menyadari bahwa peristiwa pembuangan itu tidak lepas dari hukuman Tuhan karena Israel tidak lagi mematuhi perintah Tuhan. Oleh karena itu, sebagai orang yang telah diselamatkan dari pembuangan itu dan yang telah menyaksikan bagaimana Tuhan berkarya dalam membangun tembok Yerusalem, merasa perlu untuk kembali kepada Taurat. Mereka ingin mencari kehendak Tuhan.

Di sini jelas, mereka membutuhkan Taurat. Memahami kehendak Allah telah menjadi kebutuhan. Sehingga, tanpa paksaan siapa pun mereka, bahkan seluruh rakyat, berkumpul dan meminta Ezra untuk membacakan kitab Taurat bagi mereka.

Menarik pula untuk disimak, bahwa mereka meminta para pemimpin mereka untuk mengajar mereka. Artinya, para pemimpin diminta untuk lebih paham ketimbang mereka. Nggak mungkin bukan sang pengajar tak tahu apa-apa. Pada titik ini, Taurat bukanlah konsumsi rakyat, tetapi juga para pemimpin. Dengan kata lain, memahami kehendak Tuhan itu bukan hanya urusan rakyat, tetapi juga para pemimpin.

Dan tidak tanggung-tanggung dari pagi hingga tengah hari. Mereka tetap antusias. Mereka tidak hanya ingin mendengarkan Taurat, tetapi mereka juga menuntut kejelasan dari apa yang telah dibacakan. Kita perlu bertanya di sini, apakah kita juga punya minat yang besar dalam memahami kehendak Tuhan?

Belajar memang bukan hal yang menyenangkan. Belajar memang melelahkan. Tetapi, kata lelah agaknya tidak ada dalam kamus mereka karena adanya kebutuhan dalam diri! Dan sejatinya setiap orang memang perlu belajar. Setiap orang harus memperbarui dirinya. Pembaruan diri hanya akan terjadi melalui pembelajaran.

Dan bicara soal pembaruan diri, skalanya memang seharusnya nasional. Tetapi, sebuah sistem besar terdiri atas sistem yang lebih kecil. Dan setiap sistem yang lebih kecil terdiri atas individu-individu, yakni saya dan Saudara.

Di sini kita bisa kembali berkaca. Apakah kita sudah merasa cukup puas dengan ibadah saban minggu? Jika merasa kurang, maka kita dapat melakukan pemahaman Alkitab sendiri di rumah atau kelompok. Tujuannya sederhana agar kita dapat lebih peka terhadap kehendak Tuhan. Bicara soal kehendak Tuhan, bukankah ini pula yang kita panjatkan setiap minggu: Jadilah kehendak-Mu!

Hanya dengan cara begitulah kita akan dimampukan untuk memberitakan Kabar Baik.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Istimewa