Sahabat Itu Peduli
Suatu siang saya berjanji bertemu dengan teman di tengah pusat Kota Bogor, di kompleks Katedral Bogor. Saya biasanya berkunjung ke perpustakaan karena saya anggota aktif, kali ini saya bertemu di ruang Komsos yang sekaligus ruang redaksi majalah umat.
Ini berawal dari persahabatan saya dengan salah seorang penggiat majalah umat, yang juga aktif menjadi wartawan surat kabar di Jakarta. Seiring redupnya koran cetak, sahabat saya terkena glaukoma hingga kedua matanya menjadi buta. Di sinilah awal cerita saya.
Saya memasuki ruangan, dan beberapa sahabat lain sudah hadir. Mereka adalah tim majalah dan juga penggiat sebuah komunitas persahabatan peduli disabilitas, kami berbincang tentang sebuah ide yang mengajarkan hal baru bagi saya.
Saya lalu mendapatkan penjelasan tentang apa saja kegiatan dari komunitas sahabat peduli disabilitas di lingkungan Katedral Bogor. Ada ruang dan perhatian satu dengan yang lain, lalu ada kegiatan UMKM di hari Minggu, ada kegiatan pembelajaran berupa seminar-seminar, dan saya diajak terlibat dalam pengelolaan website komunitas peduli disabilitas.
Lalu saya berkenalan langsung—juga di grup WhatsApp—dengan beberapa teman yang mengelola website yang menggalang gerakan inklusi bersama sahabat disabilitas. Saya berkenalan dengan redaksi lain yang juga tunanetra.
Saya belajar dari dua sahabat saya yang bergulat dengan penglihatan, tetapi punya semangat yang jauh lebih giat. Bagaimana mereka memiliki kepedulian untuk menggalang kebersamaan dengan para disabilitas dan mengerjakan hal-hal yang cukup rumit dengan kondisi mereka. Bagaimana mereka membaca naskah dan menerbitkan, juga melakukan reportase atas kegiatan yang mereka lakukan dan menuliskannya dalam website.
Teman editor lain, yang mengalami kebutaan karena penyakit langka, sudah menerbitkan buku tentang kondisinya yang buta, namun tetap melihat. Sebuah pergumulan dari anak-anak, remaja hingga dia menikah dan tetap menggalang kepedulian bagi disabilitas.
Dua hal yang saya pelajari dari keterlibatan saya di komunitas ini. Adanya ruang kepedulian yang nyata dan didukung komunitas gereja, ini yang belum ada di gereja saya sendiri. Ketika mereka menggalang kepedulian dan kesetaraan, saya bisa langsung menjadi redaktur di komunitas ini.
Saya belajar melihat kegigihan untuk berbagi visi dan harapan justru dari dua sahabat yang tidak sempurna secara fisik, namun dengan segala upaya memperlihatkan kepedulian dan persahabatan bagi orang lain seluas-luasnya.
Kris Hidayat | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Foto: Unsplash/Shayan R.