Tuhanlah Bagianku untuk Selamanya

Published by Admin on

Manusia itu unik dan kompleks. Tuhan menciptakan manusia terdiri atas tubuh dan jiwa. Selain aktivitas biologis yang kita lakukan, kita juga berpikir dan merasakan. Manusia juga adalah makhluk sosial yang berelasi dengan orang lain. Saat kecil dunia kita seputar papa, mama, dan keluarga kita. Semakin bertambah usia, lingkaran sosial kita semakin luas. Teman-teman dalam kelompok menjadi bagian dari pencarian identitas kita. Mungkin kita ingat bagaimana waktu sekolah kita mulai menikmati masa-masa punya teman geng yang lebih dekat. Kita menerima teman kita dan kita diterima di sana. Ada perasaan nyaman dan aman, mengetahui bahwa kita tidak sendiri.

Adakalanya, sesuatu tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Komunitas belum tentu terbuka dengan kita. Perasaan terpinggirkan kerap kali menghantui. Apalagi bagi mereka yang bergumul dengan kesepian karena pengalaman masa lalu. Kita jadi mengasihani diri dan berpikir jika tidak punya teman hancurlah kita. Bagi yang merasa seperti ini, kalian tidak sendiri.

Sesungguhnya, kita tidak pernah benar-benar sendiri. Kita punya Tuhan dan Dia ada! Teman-teman pada masanya akan berganti entah karena pindah sekolah atau pekerjaan, dan kita sendiri—suka-tidak suka—pasti akan digantikan. Bahkan, sekalipun kita ada dalam komunitas yang sama, kita tidak bisa mengharapkan semua orang akan selalu menerima kita (sebetulnya juga agak tidak realistis, masa kita hadir di semua hidup orang).

Realitas ini seharusnya membuat kita menyadari bahwa komunitas pertemanan itu baik, tetapi bukan itulah yang seharusnya memberi rasa aman kepada kita. Hanya Tuhanlah yang bisa memuaskan kerinduan jiwa kita yang terdalam akan penerimaan. Yesus Kristus memberikan contoh terbesar dan teragung di dalam sejarah. Di kayu salib Ia rela ”terpinggirkan” dari pandangan Allah Bapa agar kita diterima menjadi anak-anak Allah. Dengan penerimaan dari Tuhan, kita dapat belajar cukup. Kita memandang diri sendiri dan orang lain dengan cara Tuhan memandang.

Penerimaan Tuhan juga memampukan kita untuk lebih leluasa dalam mengasihi. Kita bukan korban takdir, tetapi kita punya pilihan untuk mengampuni dan mengasihi. Kita terlibat dalam kelompok bukan lagi untuk mengemis cinta dari teman-teman, tetapi untuk melayani dengan tulus. Tentu saja komunitas yang baik harus ada ketersalingan, apalagi jika itu adalah komunitas orang percaya. Kritik positif bisa diberikan, namun fokusnya bukan lagi untuk diri kita, tetapi untuk kebaikan komunitas itu sendiri.

Akan tetapi, kita perlu mengingat, komunitas kita tidak ideal dan kita sendiri juga tidak ideal. Saat kita diizinkan melihat kelemahan komunitas, kita dipanggil untuk mendoakannya. Marilah kita rayakan relasi kesementaraan ini sambil berkata, ”Tuhanlah bagianku untuk selama-lamanya.”

Penulis: Fifi Kurniawan (Peserta Pelatihan Penulisan Kreatif)

Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Unsplash/Melissa A.