Belajar Percaya

Published by Admin on

Sabda-Mu Abadi | 30 April 2024

“Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar” (Kej. 15:1). Demikianlah Allah menyapa Abram. Sudah empat kali Allah menampakkan diri kepada Abram, dan dalam setiap pertemuan itu Allah menyatakan hal yang sama: Abram akan beroleh anak.

Akan tetapi, janji itu belum tergenapi. Mungkin itulah sebabnya Abram berkata, ”ALLAH Yang Mahatinggi, TUHAN tidak memberikan anak ke­pada saya. Orang yang akan mewarisi harta saya hanyalah Eliezer, hamba saya dari Damsyik. Jadi apa gunanya TUHAN memberi upah kepada saya?” (Kej. 15:2-3, BIMK).

Perkataan Abram itu memperlihatkan sem­burat keraguan, bahkan protes, karena sepertinya Allah hanya berjanji tanpa kenyataan. Menanggapi protes tersebut, Allah menegaskan bahwa anak laki-lakinya sendirilah yang akan menjadi ahli warisnya. Kemudian Allah mengajak Abram keluar untuk melihat banyaknya bintang di ang­kasa. Lalu, Allah berfirman, ”Pandanglah langit, dan cobalah menghitung bintang-bintang; eng­kau akan mempunyai keturunan sebanyak bin­tang-bintang itu.”

Penulis Kitab Kejadian tak menceritakan tanggapan Abram selanjutnya, namun mencatat: ”Abram percaya kepada TUHAN, dan karena itu TUHAN menerima dia sebagai orang yang menyenangkan hati-Nya” (Kej. 15:6, BIMK). Bisa jadi Abram hanya diam. Tak ada yang bisa dika­takan di hadapan Sang Pencipta. Pada titik ini, Abram kembali belajar untuk percaya.

Percaya bukanlah barang yang sudah jadi dari sananya. Kepercayaan dalam diri seseorang merupakan proses. Iman sangat berkait erat dengan pertumbuhan dan tidak sekali jadi. Dan setiap orang perlu belajar untuk percaya.

Meski telah empat kali Allah menampakkan diri kepada Abram, dan janji akan keturunan itu belum tergenapi, Abram belajar untuk percaya. Percaya berarti memercayakan diri kita kepada pribadi yang kita percayai. Dan Abram memercayakan dirinya kepada Allah. Itulah yang menyenangkan hati Allah.

Mengapa Abram percaya? Sejatinya itulah jalan terlogis. Bukankah Allah mahakuasa? Bukankah Abram telah menjadikan Dia sebagai Tu[h]annya? Dan jalan terlogis seorang hamba—yang memang tidak tahu hari depan—memang percaya penuh kepada Sang Tuan.

Berkait dengan percaya, orang tua dipanggil untuk menjadi teladan bagi anak-anak mereka. Bagaimana mungkin anak-anak belajar percaya jika mereka melihat orang tua mereka tidak percaya kepada Allah? Dan percaya berarti memercaya­kan diri sepenuhnya kepada Allah. Itu merupakan proses. Mari kita jadikan setiap anggota keluarga kita terus belajar untuk memercayai Allah.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Klik tautan di bawah ini untuk mendengarkan versi audio:

Foto: Unsplash/Anne N.