Setia sebagai Hamba Allah
Perumpamaan gadis-gadis bijaksana dan gadis-gadis bodoh (Mat. 25:1-13) memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya memahami dan merespons sebuah tanggung jawab.
Perumpamaan gadis-gadis bijaksana dan gadis-gadis bodoh (Mat. 25:1-13) memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya memahami dan merespons sebuah tanggung jawab.
Kata-kata Yesus mengenai ahli Taurat dan orang Farisi keras. Namun, bukan tanpa dasar. Kata-kata-Nya berdasar pada kenyataan bahwa ahli Taurat dan orang Farisi sibuk mengajarkan Taurat, tetapi tidak melakukannya. Mereka jago ngomong, sayangnya kopong.
Integritas merupakan modal utama seorang pemimpin. Ironisnya, itulah yang paling jarang dimiliki para pemimpin. Semakin tinggi level kepemimpinan, semakin besarlah godaan terhadap integritas pemimpin. Godaan itu bisa menimpa siapa saja. Kuasa, mengutip Lord Acton, memang cenderung membuat orang menyimpang.
Anak-anak perlu ditolong untuk memahami makna di balik aturan. Agar mereka tidak merasa terpaksa mematuhi aturan. Mereka harus percaya bahwa menaati hukum adalah konsekuensi sebagai milik Allah.
Raja murka. Para undangan itu telah melupakan status mereka sebagai hamba. Melupakan status sebagai hamba berarti juga menganggap remeh Sang Raja sebagai tuan mereka. Bahkan, mereka pun tak mengindahkan undangan kedua. Mereka tak layak lagi hidup di kerajaan itu karena mereka tidak menghargai kelayakan yang dikaruniakan atas mereka. Dan raja menghukum mati mereka.
Persoalan keluarga sering berakar pada keinginan hidup berdasarkan kebenaran sendiri-sendiri—istri merasa benar, suami merasa benar, anak merasa benar, orang tua merasa benar! Hasilnya hanya keonaran karena masing-masing merasa benar! Pada titik ini kita perlu meneladani Paulus yang belajar hidup dalam kebenaran Tuhan! Berbeda pendapat itu merupakan hal yang wajar, tetapi setiap anggota keluarga perlu bertanya: Apa sebenarnya pendapat Allah? Setelah mendapatkan, ikutilah pendapat Allah!
Tawaran bekerja di kebun anggur ”hari ini” mengingatkan kita pada doa Bapa Kami: ”Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Dalam perumpamaan ini ditunjukkan betapa sang ayah ingin memberi sesuatu yang dapat membuat anaknya mendapatkan sesuatu pada ”hari ini”. Rezeki pada hari ini ditawarkan dengan lembut. Bisa ditolak, tak dianggap penting, diremehkan, tetapi tetap ditawarkan. Bagi yang awalnya tidak mau, tetapi kemudian berubah sikap, tawaran itu masih tetap berlaku. Perumpamaan ini tampaknya hendak menggemakan tema kemurahan hati Allah yang ditawarkan kepada siapa saja, tetapi tidak selalu diterima dengan spontan.
Dalam kacamata sang tuan, setiap orang perlu dana cukup untuk hidup sehari-hari—Rp150.000,-. Kurang dari itu, dia sendiri merasa telah bertindak tidak adil terhadap pekerjanya. Keadilan dalam sudut pandang sang tuan tidak ditentukan oleh lamanya kerja, tetapi dari sisi kebutuhan normal manusia. Keadilannya berdasarkan kasih.
Sikap hamba dalam perumpamaan Tuhan Yesus (Mat. 18:21-35) memang rada kurang ajar. Raja pun bingung dibuatnya, bahkan menyebutnya jahat! Sang raja bertanya, ”Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?”
”Sebab, di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Perkataan Tuhan Yesus sering menjadi sumber penghiburan. Ia tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Ia peduli. Enggak perlu bicara soal jumlah di sini. Yang Mahakuasa hadir bahkan dalam persekutuan kecil sekalipun. Bayangkan, cuma dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Tuhan, Tuhan hadir.